Eks Penasihat KPK: Momentum Revisi UU Antikorupsi Tak Tepat

Revisi UU KPK dinilai banyak pihak akan melemahkan pemberantasan korupsi.

oleh Oscar Ferri diperbarui 06 Feb 2016, 15:18 WIB
Mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua saat diskusi Bincang Senator dengan tema “Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia”, Jakarta, Minggu (15/3/2015). (Liputan6.com/Faisal R Syam)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua menilai momentum revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi (UU KPK) tidak tepat. Sebab, hingga saat ini DPR belum menyelesaikan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Momentum tak tepat, alasannya karena di DPR itu bola liar," ujar Abdullah dalam diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (6/2/2016).

Menurut Abdullah, pemerintah memang sepakat merevisi 4 poin. Pertama soal kewenangan penyadapan yang harus seizin Dewan Pengawas, lalu soal kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), pembentukan Dewan Pengawas, serta penyelidik dan penyidik independen.

Namun, meski disepakati pada 4 poin itu, namun tetap saja bagi Abdullah itu merupakan bola liar di DPR yang bisa memantul ke mana-mana. Sebab rumah undang-undang di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang kini belum direvisi.

"Kalau sekarang diamandemen UU KPK, kemudian 2 tahun baru jelas UU KUHP ternyata bertentangan dengan KPK, nanti diamandemen lagi UU KPK," kata Abdullah.

Revisi KUHP oleh DPR belum rampung. Hingga akhir November 2015, Panitia Kerja (Panja) bersama pemerintah baru membahas 164 Daftar Inventarisis Masalah (DIM) untuk 54 Pasal.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya