Liputan6.com, Jakarta - Wacana yang dilontarkan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok untuk menghapus bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium akan berdampak terhadap kenaikan tarif angkutan umum (angkot) dan taksi di Ibu Kota. Tarif transportasi bakal melambung karena angkot dan taksi akan beralih mengonsumsi BBM dengan harga lebih tinggi.
Ketua DPD Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan mengungkapkan, angkot jenis mikrolet dan taksi selama ini menyedot Premium dengan segmen pasar berbeda. Mikrolet menyasar masyarakat kelas bawah, sementara taksi golongan menengah ke atas.
"Kalau mikrolet dan taksi pindah konsumsi dari Premium ke Pertalite yang beda harganya Rp 850 per liter, maka beban biaya operasional yang ditanggung sopir akan membengkak," katanya saat dihubungi Liputan6.com,Jakarta, Selasa (9/2/2016).
Baca Juga
Advertisement
Shafruhan menghitung, sehari-hari mikrolet dan taksi mengonsumsi Premium 30 liter. Itu artinya, ada penambahan ongkos BBM yang harus dikeluarkan sopir sebesar Rp 25.500 per hari. Biaya ini, kata dia, akan dibebankan pada penumpang atau konsumen melalui kenaikan tarif.
"Contohnya tarif mikrolet jarak dekat saja sudah Rp 3.000-4.000. Jika Premium dihapus, dan harus mengonsumsi Pertalite, tarif bisa naik jadi Rp 5.000 untuk jarak dekat. Ini bikin masyarakat bawah makin terjepit," keluhnya.
Data Shafruhan menunjukkan, jumlah angkot di wilayah DKI Jakarta mencapai 14.600 unit. Jumlah tersebut belum termasuk angkot di daerah penyangga, seperti Bekasi dan Tangerang. Jika ditotal, jumlah angkot seluruhnya untuk wilayah-wilayah tersebut sekitar lebih dari 30 ribu unit.
Menurutnya, pengusaha angkot selama ini sudah menanggung biaya operasional yang sangat tinggi, salah satunya karena pelemahan niai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Harga suku cadang kendaraan yang sebagian besar impor juga meningkat signifikan lebih dari 30 persen.
"Premium dihapus di DKI Jakarta tidak akan bikin angkot mati, hanya saja menambah penderitaan bagi masyarakat berpendapatan kecil yang bergantung pada transportasi ini. Sekarang kan ekonomi lagi sulit, janganlah ditambah beban ini," terang Shafruhan. (Fik/Gdn)