Liputan6.com, Jakarta - Setelah krisis 2008 yang melanda perekonomian Amerika Serikat (AS) dan Eropa, yang kemudian diikuti krisis ekonomi yang melanda China sejak 2014, kini ekonomi dunia kembali dilanda kemelut. Penyebabnya adalah jatuhnya harga minyak dunia pada level terendah sejak 1990.
Akibatnya, banyak perusahaan minyak berguguran dan negara-negara yang menggantungkan pendapatan dari minyak berada dalam ancaman kebangkrutan. Para ahli berpandangan, ini adalah kelanjutan perang global dari currency war berlanjut ke oil war.
International Monetary Fund (IMF) meramalkan harga minyak akan jatuh hingga US$ 20 per barel. Jika ini benar terjadi, akan langsung memaksa sebagian besar perusahaan minyak menutup kegiatan mereka. Padahal, beberapa analis meramalkan harga minyak bisa meluncur lebih rendah.
Economics Correspondent, Peter Spence dalam artikelnya di telegraph.co.uk menyebutkan, harga minyak menuju US$ 10 bahkan bisa lebih rendah dari itu.
Jatuhnya harga minyak disebabkan oleh faktor yang sifatnya mendasar, dan bukan karena spekulasi. Faktor tersebut yakni pertama, penemuan teknologi baru shale oil dan shale gas di Amerika Serikat (AS) sebagai negara konsumen minyak terbesar di dunia, yang menyebabkan AS tidak lagi bergantung pada minyak impor.
Kedua, melemahnya perekonomian China akibat ambruknya pasar keuangan yang dipicu oleh menurunnya pasar properti dan infrastruktur di negara tersebut.
Ketiga, produksi minyak sendiri yang berada pada level overproduction (kelebihan produksi) serta kenaikan harga minyak yang selama ini cenderung tidak wajar. Dengan demikian, harga minyak rendah cenderung akan bertahan dalam jangka panjang.
Secara agregat laba perusahaan minyak mencapai rekor penurunan terbesar dalam satu tahun terakhir, yang memaksa mereka memotong dua-pertiga dari investasi baik dalam kegiatan eksplorasi maupun produksi.
Diperkirakan, 250 ribu pekerja minyak telah kehilangan pekerjaan mereka. Perusahaan-perusahaan minyak raksasa seperti Chevron, Exxon telah menyalakan tanda bahaya, memangkas pengeluaran besar-besaran dan juga melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap pekerjanya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Advertisement
Penurunan harga minyak tentu saja akan menimbulkan efek sangat besar terhadap perekonomian nasional. Pertama, terhadap perusahaan-perusahaan minyak yang beroperasi di Indonesia.
Kedua, terhadap penerimaan negara baik dari pajak maupun bagi hasil minyak. Ketiga, terhadap perusahaan minyak nasional Pertamina sebagai salah satu pelaku utama dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak mentah.
Di saat pertumbuhan ekonomi nasional melemah, yang saat ini hanya tumbuh 4,7 persen, pelemahan harga minyak jika tidak diantisipasi dengan benar, akan memicu pelemahan lebih lanjut perekonomian Indonesia. Kondisi ini akan membawa implikasi makro ekonomi yang lebih buruk.
Harga Minyak dan Ekonomi Nasional
Dalam perekonomian terbuka sekarang ini, industri minyak dan gas (migas) merupakan salah satu motor penggerak utama bagi ekonomi nasional. Tidak semata-mata dalam pendapatan negara, namun juga terhadap perekonomian nasional, aliran investasi luar negeri dan devisa hasil ekspor. Sehingga hidup matinya industri migas akan menentukan nasib perekonomian Indonesia.
Penurunan harga minyak akan menimbulkan dampak langsung terhadap menurunnya aliran investasi dalam sektor migas, menurunnya produksi dan menurunnya pendapatan ekspor, yang pada akhirnya akan menyebabkan sumbangan sektor migas terhadap GDP akan semakin mengecil. Hal ini pada ujungnya akan berdampak terhadap merosotnya pertumbuhan ekonomi nasional.
Sejauh ini, industri migas memberikan sumbangan sedikitnya 8 persen terhadap pembentukan Produk Domestik Broto (PDB) tahun 2012. Sementara ekspor migas memberikan sumbangan 12,34 persen terhadap PDB (Januari-Desember 2015). Sedangkan investasi migas dalam situasi normal cukup besar.
Data PricewaterhouseCoopers (PWC) menyebutkan, investasi dalam migas di Indonesia cukup besar meningkat dari US$ 16,1 miliar di 2012 menjadi US$ 19,3 miliar di 2013, dengan kontribusi sekitar 12 persen terhadap penerimaan pemerintah.
Belum lagi pemerintah telah memasang target yang besar dalam investasi migas. Sebagaimana dikatakan menteri ESDM Sudirman Said pada Juni 2015, pemerintah menargetkan investasi sektor migas sampai lima tahun ke depan mencapai Rp 1.800 triliun.
Menurut dia, pemerintah bisa mengundang investor agar menanamkan modalnya hingga Rp 1.200 triliun untuk kegiatan hulu migas. Sedangkan untuk kegiatan hilir sebesar Rp 600 triliun. Dapat dipastikan bahwa target ini akan meleset jauh. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, perusahaan-perusahaan minyak banyak yang akan hengkang dari Indonesia.
Baru-baru ini PT Chevron Pasific Indonesia, perusahaan minyak yang menguasai sekitar 48 persen produksi minyak mentah Indonesia mengatakan, akan mengakhiri kontrak mereka di Kalimantan Timur setelah 50 tahun beroperasi di sana.
Blok Kalimantan Timur menyumbangkan 70 juta kaki kubik per hari (mmscfd) gas dan 20 ribu barel minyak pe hari. Tidak hanya itu, perusahaan minyak asal Amerika Serikat itu juga berencana akan mengurangi sekitar 1.500 pekerja mereka di Indonesia.
Tidak hanya Chevron Indonesia, namun juga perusahaan asing seperti British Petroleum (BP), ConocoPhillips, dan perusahaan nasional lainnya seperti Energi Mega Persada, akan mengambil langkah sama sebagai respons terhadap memburuknya harga minyak. SKK migas sendiri telah mengeluarkan pernyataan untuk mewaspadai keadaan ini.
Dampak bagi Keuangan Negara
Minyak merupakan salah satu sumber pendapatan utama pemerintah, baik dalam bentuk penerimaan pajak, maupun bagi hasil minyak dan pendapatan lainnya yang diperoleh pemerintah daerah. Meskipun penerimaan negara dari migas terus menurun dari waktu ke waktu, namun ketergantungan pada pendapatan minyak masih besar.
Jatuhnya harga minyak akan mengakibatkan dua hal. Pertama, turunnya target lifting minyak oleh perusahaan minyak baik perusahaan asing maupun perusahaan nasional. Perusahaan minyak akan enggan melakukan produksi karena harga yang tidak atau kurang menguntungkan.
Kedua, penurunan harga minyak akan berdampak langsung terhadap menurunnya pendapatan pemerintah.
Jika harga minyak jatuh hingga di bawah US$ 10, besar kemungkinan pemerintah akan kehilangan sama sekali pendapatan dari minyak. Selama ini, hasil penjualan minyak mentah baik ekspor maupun penjualan ke dalam negeri, langsung masuk ke dalam kas pemerintah dalam bentuk bagi hasil minyak.
Dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2014, total penerimaan langsung migas yang diperoleh dari pajak penghasilan Rp 83,8 triliun, penerimaan sumber daya alam (SDA) minyak Rp 154,7 triliun dan penerimaan SDA gas Rp 56,9 trilun. Total penerimaan langsung migas Rp 295,5 triliun.
Pendapatan tersebut belum termasuk penerimaan sektor pajak yang berkaitan secara tidak langsung dengan sektor migas. Asumsi harga minyak saat itu adalah US$ 105 per barel.
Selanjutnya dalam APBN 2016, pemerintah menargetkan produksi minyak sekitar 830 ribu barel per hari dan target pendapatan minyak US$ 11,65 miliar, dengan asumsi harga minyak ditetapkan sebesar US$ 50 per barel.
Sementara sekarang, harga minyak berkisar antara US$ 25-US$ 30 per barel. Tentu saja pendapatan pemerintah tidak akan tercapai. Dalam hal asumsi harga minyak, pemerintah dan DPR berkali-kali membuat asumsi yang salah dan tidak dapat membaca kecenderungan perekonomian global.
Penurunan harga minyak akan memaksa Pemerintahan Jokowi harus segera melakukan revisi terhadap asumsi dalam APBN, target penerimaan migas bahkan target pengeluaran secara keseluruhan. Target yang ambisius dalam APBN 2016 sebagaimana APBN-P 2015 tidak lagi relevan.
Kredibilitas Pemerintahan Jokowi kembali diuji dalam proses revisi APBN-P 2016. Apakah pemerintah akan bertindak realistis atau tetap ambisius di tengah menurunnya pencapaian penerimaan negara.
Pertamina Menderita
Pertamina merupakan salah satu perusahaan negara yang akan ikut menderita oleh menurunnya harga minyak. Keuntungan perusahaan yang selama ini sebagian besar diperoleh dari kegiatan hulu migas terancam lenyap. Sementara pada sisi lain, perusahaan telah melakukan investasi miliaran dolar AS untuk mencari dan memproduksi minyak.
Pertamina akan mengurangi pengeluaran operasi hulu mencapai 30 persen pada tahun ini sebagai konsekuensi dari menurunnya harga minyak.
Sebagaimana diketahui, pengeluaran operasi hulu perusahaan tahun 2016 senilai US$ 4 miliar untuk kegiatan pengembangan dan eksplorasi. Beberapa operasi perusahaan akan dihentikan sementara dikarenakan tingginya biaya operasi tak sebanding dengan harga minyak saat ini.
Dikatakan, biaya operasi rata-rata perusahaan untuk onshore production (produksi di darat) berkisar antara US$ 19-US$ 20 per barel. Bahkan biaya operasi untuk beberapa lokasi seperti di lepas pantai West Madura sekitar US$ 30 per barel.
Pertamina akan memotong produksi hingga 296 ribu barel per hari atau berkurang 17,77 persen dari target yang ditetapkan sebelumnya yakni 360 ribu barel per hari.
Produksi minyak mentah Pertamina pada skala normal mencapai 18 persen dari total produksi nasional dan 16 persen gas. Selebihnya dihasilkan oleh perusahaan swasta asing dan nasional. (Sumber: PWC, 2014)
Sementara pada sisi lain, Pertamina menghadapi beban pembiayaan yang besar dikarenakan banyak investasi Pertamina yang dibiayai dengan utang. Sedangkan laba yang diperoleh Pertamina yang selama ini disumbangkan oleh sektor hulu tidak lagi signifikan untuk dapat membayar utang.
Sebagaimana dikatakan lembaga rating utang Moodys, sejak awal 2015 memperingatkan penurunan laba Pertamina tersebut akan memberikan tekanan lebih lanjut pada metrik kredit Pertamina, yang telah memburuk selama 2 tahun terakhir sebagai perusahaan telah memulai investasi didanai utang. Saat ini Pertamina memiliki utang di pasar keuangan global mencapai US$ 8,75 miliar atau sekitar Rp 120,75 triliun.
Moody’s mencatat peringkat perusahaan Pertamina sebesar Baa3. Begitu pula peringkat dua surat utang perusahaan migas milik negara ini, yaitu Senior Unsecured MTN dan Senior Unsecured Regular Bond/Debenture. Baa3 merupakan derajat terendah level layak investasi (investment grade) versi Moody’s, yang menunjukkan risiko moderat utang tersebut.
Artinya, jika lembaga rating internasional ini jadi menurunkan peringkat Pertamina, maka peringkatnya akan jatuh ke level speculative grade, yang utangnya berisiko secara substansial.
Sehingga untuk mengatasi beban ini, satu-satunya yang dapat diharapkan memompa keuntungan untuk Pertamina adalah kegiatan hilir. Perusahaan dipaksa mengambil margin yang lebih besar dari penjualan produk minyak kepada masyarakat, jika tidak ingin bangkrut.
Padahal langkah ini mungkin akan menuai kritik yang luas dari masyarakat yang mengatakan, seharusnya harga BBM turun baik yang bersubsidi maupun yang tidak bersubsidi. Jika merugi, maka tidak mungkin Pertamina bisa tetap selamat.
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah Jokowi ?
Kemelut ekonomi nasional yang ditimbulkan oleh fluktuasi harga minyak merupakan dampak langsung dari liberalisasi migas, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) No 22 Tahun 2001 tentang Migas. UU yang lahir di bawah tekanan IMF melalui Letter of Intent (LoI) tersebut, telah menyeret sistem pengelolaan migas nasional ke dalam rezim minyak global.
UU tersebut menyebabkan kontrol negara terhadap kekayaan minyak menjadi hilang. Sejak lahirnya UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas, produksi minyak nasional terus menurun dari 1,5 juta barel per hari menjadi hanya 830 ribu barel per hari.
Sementara cost recovery atau biaya yang harus digantikan oleh negara kepada perusahaan minyak meningkat berkali-kali lipat. Korupsi di sektor hulu migas merajalela baik dalam bentuk manipulasi produksi maupun manipulasi biaya produksi. UU ini juga berhasil mengerdilkan Pertamina yang ditempatkan setara dengan kontraktor migas swasta nasional dan asing.
Hilangnya kontrol negara terhadap minyak telah menyebabkan stabilitas ekonomi nasional terganggu. Fluktuasi harga minyak global memaksa pemerintah mengevaluasi harga jual minyak setiap hari. Padahal, harga minyak merupakan faktor penentu harga kebutuhan barang lainnya.
Kebijakan harga BBM yang berubah-ubah seperti 'yoyo' yang terjadi dalam Pemerintahan Jokowi, telah berdampak buruk terhadap perekonomian.
Sejak kebijakan kenaikan harga BBM pada akhir 2014 lalu, harga-harga melambung tinggi. Sementara pada saat yang sama daya beli masyarakat merosot tajam. Kondisi semacam itu belum pulih sampai saat ini, meski pemerintah mencoba menurunkan kembali harga BBM.
Semestinya situasi fluktuasi harga minyak yang terjadi dalam lima tahun terakhir dapat diambil sisi positifnya bagi perekonomian. Kenaikan harga minyak tentu akan menciptakan manfaat dalam bentuk meningkatnya penerimaan negara dari minyak bagi pendapatan ekspor maupun penerimaan dalam APBN.
Sebaliknya penurunan harga minyak dunia dapat diambil sisi manfaatnya dalam bentuk penurunan harga jual produk minyak kepada rakyat, sehingga berdampak pada menurunnya biaya produksi nasional dan penurunan harga-harga kebutuhan dasar masyarakat.
Manfaat tersebut hanya dapat diperoleh apabila pemerintah tidak menjadikan sektor migas sebagai sumber dana dalam pembiayaan pemerintahan. Namun harus dijadikan sebagai sumber penggerak ekonomi nasional. Dengan demikian pada saat harga minyak tinggi, seluruh keuntungan dari hasil eksploitasi migas di Indonesia tidak dihabiskan sebagai anggaran pemerintah, namun dicadangkan untuk keperluan dana stabilitasi harga minyak.
Demikian pula jika harga minyak jatuh, pemerintah dapat memanfaatkan momentum tersebut untuk menurunkan harga produk minyak yang dijual kepada masyarakat. Selanjutnya diharapkan akan terjadi penurunan biaya produksi nasional, ongkos distribusi barang dan jasa, yang pada ujungnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Dengan demikian, pemerintah akan memperoleh manfaat dalam bentuk peningkatan penerimaan pajak dan pendapatan lainnya yang diperoleh dari industri non migas dan usaha-usaha lainnya.
Manfaat tersebut akan dapat diperoleh jika pengelolaan migas nasional sepenuhnya berada di bawah kontrol negara. Kekayaan migas tidak diposisikan sebagai komoditas, namun dijadikan sebagai modal dasar bagi pembangunan industri nasional, penguatan daya saing ekonomi nasional dalam menghadapi tantangan globalisasi yang semakin berat.
Rencana perubahan UU Migas yang saat ini masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2016 harus menjadi momentum untuk membenahi tata kelola migas nasional agar selaras dengan amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat 1,2 dan 3.
Dengan begitu, negara harus berdaulat atas migas menggantikan kedaulatan swasta asing yang telah terbukti menjadi penyebab terpuruknya sektor migas dan perekonomian nasional.