Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai Kementerian Keuangan angkat bicara perihal penyebab penutupan dealer PT Mabua Motor Indonesia. Manajemen Mabua Motor sebelumnya mengeluhkan tingginya tarif pajak dan bea masuk yang berdampak kepada bisnisnya.
Salah satunya terkait kenaikan pungutan bea masuk motor besar dari 30 persen menjadi 40 persen yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 132/PMK.03/2015.
Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Ditjen Bea Cukai Sugeng Aprianto mengakui, pemerintah telah merevisi atau menyesuaikan tarif bea masuk pada Juli 2015. Perubahan ditandai dengan penerbitan PMK Nomor 132 Tahun 2015.
"Salah satu yang berubah adalah bea masuk untuk motor dalam kondisi CBU (non-CKD) di atas 250 CC yang sebelumnya 30 persen menjadi 40 persen. Sementara untuk motor kondisi CKD tidak mengalami perubahan dalam rangka mendukung industri perakitan," kata Sugeng saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Rabu (10/2/2016).
Menurut dia, perubahan tarif bea masuk motor besar bukan tanpa alasan. Kenaikan tarif bertujuan meningkatkan investasi dan proteksi industri, termasuk industri kendaraan bermotor atau roda dua. Sementara tarif bea masuk motor CKD tetap dipertahankan untuk mendukung industri perakitan.
Baca Juga
Advertisement
Dalam menetapkan penyesuaian tarif dari 30 persen menjadi 40 persen, diakui Sugeng merupakan usulan dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Kemudian selanjutnya dibahas dalam tim tarif nasional atau lintas kementerian/lembaga untuk ditetapkan kenaikan tarif yang tepat.
"Jadi nanti jika ada usulan baru (relaksasi tarif) dari kementerian/lembaga, maka Kemenperin dan tim tarif nasional akan membahasnya lebih lanjut," tutur Sugeng.
Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Mekar Satria Utama sudah menanggapi keluhan dari manajemen agen penjualan Harley Davidson di Indonesia soal sejumlah pungutan bagi impor motor besar.
Mekar mengungkapkan, pengenaan pajak penghasilan (PPh) 22 impor dikenakan bagi Wajib Pajak importir yang melakukan impor motor gede (moge) dan dapat dikreditkan di SPT Tahunan PPh.
"Sedangkan pungutan PPh 22 barang sangat mewah untuk moge serta kenaikan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) memang bertujuan untuk membatasi konsumsi," dia menjelaskan.
Dengan kata lain, pengenaan pajak-pajak tersebut akan berpengaruh terhadap harga jual motor Harley Davidson.
Menurut Mekar, hal itu dianggap wajar mengingat pembeli atau konsumen moge ini merupakan kalangan atas. "Kalau mau punya motor itu, ya harus membayar mahal," tegas Mekar.
Selama ini, diakuinya, belum ada pengusaha atau perusahaan yang datang dan mengeluhkan tentang tarif pajak tersebut kepada Ditjen Pajak.
"Belum ada kok yang datang ke kami dan mengeluhkannya. Jadi seharusnya pajak bukan menjadi alasan dari ketidakmampuan perusahaan bersaing atau efisiensi," dia menambahkan.
Kata Mekar, pemerintah membuka kesempatan merelaksasi atau melonggarkan kebijakan, termasuk pungutan pajak apabila terbukti membebani dunia usaha. Namun semua itu perlu dilakukan kajian terlebih dahulu mengenai dampaknya.
"Kita terbuka kok, seperti PPN sapi kemarin yang sudah direvisi. Kalaupun minta direlaksasi, perlu dikaji dulu dampaknya sejauh mana tidak serta-merta hanya karena misalnya Dealer Harley tutup saja," katanya.
Seperti diketahui, penutupan dealer PT Mabua Motor Indonesia di Iskandarsyah pada Oktober 2015 tak banyak membantu. Alih-alih melakukan efisiensi, agen Harley-Davidson justru tak kuat menahan beban.
Surat yang mengatasnamakan Presiden Direktur PT Mabua Harley-Davidson Djonnie Rahmat menyedot perhatian. Secara terang benderang, mereka mengaku tak kuat lagi menjual motor gede (moge) asal Amerika itu di dalam negeri.
Sebagaimana yang tertuang pada surat itu, ada banyak kendala yang harus dihadapi para pemain motor besar.
Tentu saja pelemahan rupiah terhadap dolar AS yang terjadi sejak 2013 membuat langkah perusahaan tertatih-tatih. "Sampai saat ini mencapai lebih kurang 40 persen (pelemahannya)," kata Djonnie.
Parahnya lagi, aturan yang diterbitkan pemerintah kian memperparah kondisi. Tarif bea masuk serta pajak terkait dengan impor dan penjualan besar makin membuat konsumen enggan membeli motor besar.
Djonnie menambahkan, ada empat aturan yang selama ini memberatkan importir motor besar, yakni:
PMK No 175/PMK.011/2013 tentang Kenaikan Tarif PPh 22 Import dari 2,5 persen menjadi 7,5 persen;
PP No 22 Tahun 2014 tentang Kenaikan Pajak Penjualan Barang Mewah dari 75 persen menjadi 125 persen;
PMK No 90/PMK.03/2015 tentang Penetapan Tarif PPh 22 Barang Mewah untuk Motor Besar dengan Kapasitas Mesin di Atas 500 cc dari 0 persen menjadi 5 persen; dan
PMK No 132/PMK.010/2015 tentang Kenaikan Tarif Bea Masuk Motor Besar dari semula 30 persen menjadi 40 persen.
"Total keseluruhan pajak untuk importasi motor besar mencapai hampir 300 persen, tidak termasuk bea balik nama dan lain-lain. Faktor-faktor di atas telah mengakibatkan kelesuan pasar serta penurunan minat beli," tutur Djonnie. (Fik/Nrm)