Liputan6.com, Balikpapan - Borneo Orangutan Survival (BOS) Foundation memulangkan 7 orangutan ilegal dari luar negeri, ke pusat rehabilitasi Nyaru Menteng Kalimantan Tengah. Ke 7 primata ini hasil pemulangan satwa orangutan asli Kalimantan yang dipelihara warga asing di Kuwait dan Thailand.
“Orangutan ini hasil pemulangan dari Kuwait dan Thailand,” kata Humas BOS Foundation Nico Hermanu, Balikpapan, Rabu 10 Februari 2016.
Nico mengatakan 7 orangutan ini tiba di Tanah Air secara bergelombang sejak Oktober hingga November 2015 lalu. BOS berkoordinasi dengan pemerintah RI dalam memulangkan 6 primata yang diduga kuat diperdagangkan secara ilegal dari pemilik sebelumnya.
Orangutan yang terdiri dari Moza, Junior, Sampit, Sawade, Warna dan Malee ini, diterbangkan dari Bandara Soekarno Hatta tujuan Bandara Sepinggan Balikpapan.
Selanjutnya, mereka menempuh perjalanan darat selama 14 jam tujuan pusat rehabilitasi orangutan Nyaru Menteng Palangkaraya.
“Kami harus hati-hati dalam berkendara agar orangutan tidak stres dalam perjalanan,” kata Nico.
Adapun 1 orangutan bernama Puspa, lanjut Nico dikirimkan ke pusat rehabilitasi di Sumatera. Menurut dia, DNA orangutan satu ini dipastikan asli berasal dari Sumatera.
Baca Juga
Advertisement
Rehabilitasi 12 Tahun
Humas Pusat Rehabilitasi Nyaru Menteng Agung Monterado mengatakan, 6 primata ini dianggap layak menjalani masa rehabilitasi sebelum dilepas liarkan ke habitatnya. Orangutan ini memenuhi sejumlah persyaratan seperti halnya usia, kesehatan fisik, hingga sifat alami keliarannya.
“Kami memilih orangutan yang punya kesempatan untuk beradaptasi kembali ke lingkungannya. Kalau orangutan cacat tentu akan kesulitan kembali ke alam liar,” ungkap dia.
Kendati, Agung mengatakan, 6 orangutan ini nantinya membutuhkan waktu rehabilitasi 6 hingga 12 tahun. BOS Nyaru Menteng akan mengajarkan agar orangutan nantinya mampu bertahan hidup, kala dilepas liarkan ke hutan Kalimantan.
“Mereka akan mendapatkan latihan bertahan hidup, pengenalan makanan hingga pembuatan sarang di pohon. Orangutan yang sudah siap akan dilepas liarkan di hutan konservasi Tanjung Putih Kalteng,” papar dia.
Apalagi 6 primata ini seluruhnya sudah terlalu lama berinteraksi dengan manusia yang sempat memeliharanya. Primata ini sudah melupakan sifat dasar alamiahnya sebagai orangutan, yang seharusnya hidup di alam hutan Kalimantan.
Perdagangan Sindikat
BOS menduga ada sindikat perdagangan satwa dalam penyelundupan primata orangutan keluar Pulau Kalimantan. Sebab, bukan perkara gampang menyelundupkan primata dilindungi ini dari wilayah RI hingga ke luar negeri.
“Mungkin ada campur tangan sindikat perdagangan satwa Indonesia, untuk diperdagangkan ke luar negeri,” kata Nico.
Nico mengatakan, hasil uji laboratorium memastikan DNA para primata ini berasal dari Kalimantan dan Sumatera.
“Artinya orangutan ini bisa keluar dari Indonesia. Keluarnya lewat jalur apa? Itu yang menjadi pertanyaan kami semua,” papar dia.
Perdagangan orangutan disebut-sebut menawarkan keuntungan tinggi bagi sindikat satwa liar. Keuntungan perdagangan satwa langka, diduga mampu menandingi keuntungan penjualan narkoba maupun senjata api.
Agung Monterado menyebutkan perdagangan primata orangutan marak terjadi pada masa praktik pembalakan liar di Kalimantan 2009 silam. Saat itu ada ratusan kapal yang mengangkut kayu hilir mudik keluar dari Kalimantan.
“Saat itu orangutan bisa dibawa keluar dari Kalimantan dengan mudah,” ungkap dia.
Agung menyebutkan pihak keamanan sempat menggagalkan penyelundupan 49 orangutan Kalteng, yang rencananya akan dibawa ke Thailand pada 2009. Orangutan ini biasanya disalahgunakan menjadi hewan sirkus yang sering dipertontonkan di Thailand.
“Informasinya terdapat 172 ekor orangutan Kalteng yang saat ini ada di Thailand,” kata dia.
Orangutan yang berhasil dipulangkan, menurut Agung, hanya sebagian kecil, yang tersebar di berbagai negara. Sebagian besar orangutan ini tidak mendapatkan perlakuan sebagaimana mestinya.
“Mereka dipelihara manusia, diberi makanan yang bukan peruntukan orangutan. Seperti roti, permen dan lainnya,” ungkap dia.
Agung menilai pemerintah selama ini kurang serius mengantisipasi perdagangan orangutan. Undang Undang sudah menyebutkan, orangutan termasuk satwa yang dilindungi, sehingga ada hukuman penjara bagi mereka yang memperdagangkannya.
Polulasi orangutan Nyaru Menteng Palangkaraya saat ini ada 483 ekor orangutan Kalimantan. Sehingga, populasi orangutan Nyaru Menteng akan menjadi 489 ekor orangutan hasil sitaan dari 2 negara tersebut.
Advertisement
Gaya Hidup
Perburuan satwa langka dan kegiatan jual-belinya menyebabkan fauna endemik Indonesia terancam punah. Salah satu faktor yang 'menghidupkan' kegiatan bisnis ilegal ini, adalah gaya hidup orang-orang berduit.
Kapolda Metro Jaya Irjen Tito Karnavian mengatakan, kaum borjuis berani membeli satwa liar dengan harga mahal demi kesenangan dan kebanggaan diri mereka.
"Artinya, ini terjadi karena adanya supply and demand, gaya hidup," ujar Tito di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Rabu 10 Februari 2016.
Karena pembeli berani merogoh kocek tebal, maka para pemburu pun semakin giat menangkapi satwa yang sejatinya harus hidup bebas di alam liar.
Apalagi, lanjut Tito, ancaman pidana atas tindak kejahatan ini relatif ringan, hanya kurungan penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta, dibandingkan keuntungannya yang menggiurkan.
"Perdagangan ini menghasilkan uang yang banyak juga, supply-nya juga relatif lancar, karena high profit-low risk. Keuntungan menggiurkan dan ancaman hukumannya kecil, cuma 5 tahun dan denda Rp 100 juta," kata Tito.
Menurut Tito solusi untuk menangani masalah ini ada 2. Pertama, mengambil sikap persuasif preventif dengan menanamkan edukasi kepada masyarakat, mengenai perlunya menjaga kelestarian alam serta populasi yang tinggal di dalamnya. Kedua, sosialisasi 'perang' terhadap gaya hidup memelihara satwa liar.
"Untuk itu harus ada langkah-langka mulai dari langkah persuasif preventif sampai represif. Persuasif preventif terutama pendidikan untuk mengubah budaya masyarakat. Masyarakat kita saya rasa belum sampai pada level mereka menyayangi satwa langka," jelas dia.
"Kedua, sosialisasi agar gaya hidup memelihara satwa langka ini harus dihilangkan," imbuh Tito.