Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina (Persero) sedang berjuang keras menjalankan efisiensi operasional. Langkah efisiensi tersebut dilakukan untuk menghadapi penurunan harga minyak dunia.
Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto mengatakan, Pertamina memperkirakan harga minyak akan berada di kisaran US$ 30-35 per barel pada tahun ini. Harga tersebut memang jauh di bawah 14 bulan lalu yang masih di kisaran US$ 100 per barel.
Dalam hitungan Pertamina, jika harga minyak terus bertahan di level bawah maka kemungkinan besar keuangan perusahaan akan tertekan. Oleh sebab itu, Pertamina harus melakukan efisiensi agar tekanan yang ada tidak terlalu besar.
Dwi melanjutkan, keadaan tersebut tidak hanya dialami oleh Pertamina. Namun semua perusahaan yang bergerak pada sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) terpukul atas kondisi tersebut. Karena biaya produksi menjadi lebih tinggi ketimbang harga jualnya.
"Saya kira semuanya akan terpukul karena harga minyak mentah yang turun," ungkap Dwi di Universitas Pertamina,Jakarta, Kamis (11/2/2015).
Baca Juga
Advertisement
Ia melanjutkan, ada beberapa blok Pertamina yang biaya produksinya di atas US$ 35 per barel. Menurut Dwi, untuk mengahadapinya Pertamina berjuang lebih keras lagi dalam melakukan efisiensi sehingga biaya produksi bisa berkurang mencapai 30 persen.
"Kita tahu harga minyak dunia di harga US$ 30 per barel. Sedangkan beberapa blok kita memproduksi dengan harga US$ 40 per barel. Ada yang di atas US$ 35 per barel. Itu menjadi tekanan di revenue. Seperti yang diawali di 2015, kami akan berjuang efisiensi. Karyawan juga komit untuk kerja keras lagi untuk efisiensi," tutup Dwi.
Sebelumnya, Kepala Bagian Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Elan Biantoro menyebutkan bahwa efek turunnya harga minyak tak terhindari.
Elan mengakui perusahaan minyak satu per satu mulai berguguran. Dia menyebutkan, dari 330 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sekarang sudah berkurang menjadi 312 KKKS. Dari 312 KKKS yang tersisa, sekitar 232 KKKS eksplorasi, sekitar 80 KKKS mengelola blok produksi.
"Dari 232 KKKS eksplorasi, sekitar 60 KKKS kontraknya akan diterminasi," kata Elan.
Tak hanya itu, perusahaan minyak juga mulai melepas beberapa aset yang dianggap tidak menguntungkan saat harga anjlok seperti ini. Salah satunya Chevron Indonesia Company (CICO) yang memutuskan tidak memperpanjang kontrak production sharing contract (PSC) pengelolaan Blok East Kalimantan (EKAL).
Selain itu, ConocoPhillips berencana melepas sahamnya di Blok B Laut Natuna Selatan. (Pew/Gdn)