Liputan6.com, Jakarta “I didn’t ask to be super, and I’m not a hero.”
Ya, sejak awal Deadpool telah memberikan peringatan yang sangat jelas. Bahwa di luar semua kekuatan super yang dimilikinya, ia bukan seorang superhero.
Sosok berkostum merah ini jauh dari ‘pakem’ para pahlawan super yang menegakkan kebenaran dan berakhlak mulia. Justru sebaliknya, otaknya sedikit sinting. Lihat saja, Deadpool dengan riang gembira melubangi kepala musuh-musuhnya dengan peluru. Ia juga hobi mengumbar lelucon selangkangan. Bahkan ia tega ‘menzalimi’ rakyat kecil dengan menumpang taksi tanpa mau membayar.
Namun segala hal nyleneh ini justru menjadi daya magnet Deadpool. Karakter dari jagat Marvel yang aslinya ditulis oleh Fabian Nicieza dan Rob Liefeld ini, akhirnya mendapat jatah film sendiri, yang juga merupakan debut film panjang sang sutradara, Tim Miller.
Setelah penokohan Deadpool diobrak-abrik dalam X-Men Origins: Wolverine, pada film ini karakter tersebut dibuat lebih setia dengan komik aslinya. Tidak seperti Wolverine yang menggambarkan karakter ini sebagai mesin pembunuh, film ini mengembalikan ‘fitrah’ Deadpool sebagai sosok antihero yang slenge’an.
Baca Juga
Advertisement
Tak cuma karakternya, yang nyleneh, struktur plot film Deadpool berjalan dengan cara tak biasa.
Dalam lima belas menit pertama, penonton langsung digempur adegan laga gila-gilaan saat Deadpool (Ryan Reynolds) tengah menghabisi sejumlah lawannya. Namun di tengah pertarungan, alur tiba-tiba ditarik mundur ke belakang, pada masa sebelum Deadpool mengenakan spandeks merah-hitam ketatnya. Saat Deadpool masih dikenal dengan nama Wade Wilson.
Wade Wilson adalah seorang mantan prajurit khusus yang beralih profesi sebagai seorang tukang pukul bayaran. Ia bertemu dan jatuh cinta pada seorang kupu-kupu malam bernama Vanessa (Morena Baccarin). Hidup terasa sempurna, sampai Wade Wilson didiagnosis menderita kanker yang telah menyebar ke seluruh organ vitalnya. Ia kemudian setuju mengikuti program dari Ajax (Ed Skrein), yang tak hanya menjanjikannya kesembuhan, tapi juga kekuatan super.
Ternyata, Ajax memiliki rencana busuk yang diketahui Wilson dengan terlambat. Dari sini, adegan dikembalikan pada pertarungan Deadpool, dan tak berapa lama kemudian kembali dilempar ke masa lalu.
Plot yang dipimpong maju-mundur secara tiba-tiba ini, bisa jadi membuat penonton mengharapkan adegan laga non-stop menjadi sedikit terganggu. Pasalnya, dua sisi plot ini begitu bertolak belakang. Yang satu lebih menjurus pada drama, yang lain adalah adegan dar-der-dor dengan darah muncrat dan isi kepala tumpah ke mana-mana.
Untungnya, ada satu benang merah yang menjahit dua bagian beda nuansa ini. Yakni, sisi humor Deadpool dan Wade Wilson yang liar dan kadang kurang ajar. Ada banyak jenis lelucon yang ditebar dalam Deadpool. Mulai dari lelucon vulgar, sampai yang lebih canggih. Yakni kala Deadpool mendobrak ‘dinding keempat’, atau yang dalam bahasa sinematik sebagai ‘breaking the fourth wall’.
Istilah ini, digunakan saat karakter dalam sebuah dunia fiksi memiliki kesadaran bahwa ia tengah berada dalam dunia tersebut, bahkan berinteraksi dengan penonton. Dan inilah yang dilakukan Deadpool.
Di banyak adegan ia berbicara dengan penonton, juga sadar bahwa dunianya merupakan konstruksi yang dibuat oleh studio film. Dengan gayanya yang sarkastis, ia mengolok-olok banyak hal, mulai soal film X-Men Origins: Wolverine hingga budget film Deadpool. Dengan cara ini Deadpool membuat jembatan yang kokoh, yang membuat para pemirsa makin masuk ke dunianya.
Deadpool, dengan segala kejanggalannya, menjadi sebuah gebrakan baru di jagat sinema para pahlawan super. Tak hanya menjadi franchise Marvel pertama yang memasang rating R, alias restricted, Deadpool adalah angin segar bagi penggemar film superhero yang telah berulang kali dijejali dengan formula yang sama. (Rtn/fei)