Liputan6.com, Jakarta - Pahitnya Ibu Kota sudah dirasakan Sari yang kala itu berusia 22 tahun. Dari Cirebon, Jawa Barat, dia berakhir di Kalijodo, di antara Kali Angke dan Sungai Banjir Kanal.
Hingga pada September 2001, dengan menahan sakit, dia melarikan diri dari sebuah bar di Jalan Kepanduan, kawasan Gang Kambing, Kalijodo, Jakarta Utara menuju Polsek Metro Penjaringan.
Itu adalah hari yang dinanti-nantikannya. Setelah berkali mencoba, Sari meraih kebebasan, berhasil melarikan diri dari Mami Sri dan centeng-centeng bertampang sangar yang selalu mengawasi gerak-geriknya.
Baca Juga
Advertisement
Yang dialami Sari adalah kasus serius. Dia dan 16 temannya yang disekap di bar itu merupakan korban perdagangan orang.
"Saya ingin lari karena dibohongi, rasa sakit pada perut juga membuat semakin ingin melarikan diri dari Bar Cempaka," kata Sari seperti ditulis Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Krishna Murti dalam bukunya, Geger Kalijodo.
Saat menuliskan kisah Sari, Krishna masih menjabat Kapolsek Metro Penjaringan (2001-2004).
Sari dan kawan-kawannya datang dari berbagai daerah ke Jakarta untuk mencari pekerjaan sebagai asisten rumah tangga. Namun sesampainya di Ibu Kota, gadis-gadis asal Cirebon, Garut, Tasikmalaya itu malah bertemu para anggota sindikat perdagangan orang.
Di Stasiun Senen dan Terminal Kampung Rambutan para anggota sindikat itu membujuk mereka untuk membantu mencarikan pekerjaan. Jika para wanita tersebut menolak, mereka diancam bakal disekap di rumah-rumah kos milik pelaku.
Maka mereka pun terpaksa 'menjual diri' di Kalijodo.
"Setelah kami menelusuri kasus ini, ternyata para tersangka memang dijebak oleh kelompok sindikat. Dari pengakuan Sari yang dikuatkan keterangan kawan-kawannya setelah kami menggerebek bar tersebut," tutur Krishna.
"Mereka dipaksa untuk menjual diri, setelah sebelumnya datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga," sambung dia.
Sejak zaman penjajahan Belanda, Kalijodo memang sudah dikenal sebagai tempat mencari cinta sesaat. Hingga kini di kawasan itu terjajar bar-bar yang menawarkan 'cinta 1 malam'.
Kini 15 tahun telah berlalu sejak tragedi Sari terkuak, Kalijodo kembali menjadi perhatian.
Nama kawasan ini kembali mencuat setelah insiden 'Fortuner Maut'. Kecelakaan maut di KM 15 Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, Senin 8 Februari 2016 itu menewaskan 4 orang.
Sebelum kecelakaan, rombongan mobil Fortuner itu diketahui menghabiskan malamnya dengan pesta minuman keras di kawasan Kalijodo.
Setelah peristiwa itu, wacana pembubaran Kalijodo pun mengemuka. Wacana pembongkaran kawasan prostitusi ini sudah bergulir sejak lama. Namun lokalisasi dan tempat perjudian yang sudah ada sejak 1930-an itu hingga kini masih tumbuh subur.
Siapa Bekingi Kalijodo?
Di Balai Kota, Jakarta, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama tengah risau. Pria yang karib disapa Ahok itu mengaku kesal dengan Wali Kota Jakarta Utara Rustam Effendi yang tak kunjung membersihkan Kalijodo.
Ahok bercerita, Rustam selalu beralasan tengah melakukan pendekatan persuasif dengan warga dan pelaku usaha di Kalijodo.
"Nah Wali Kota merasa perlu pendekatan melulu," ujar Ahok saat ditemui di Balai Kota Jakarta, Jumat (12/2/2016).
Karena itu dia mengancam akan menggeser posisi Rustam sebagai Wali Kota Jakarta Utara jika tidak mampu membongkar Kalijodo. "Pokoknya saya sudah tekankan Wali Kota kalau nggak berani (bongkar Kalijodo) harus kita ganti," cetus Ahok.
Ahok menyadari pembongkaran kawasan prostitusi tertua di Jakarta itu tidak mudah. Perlawanan dari warga yang menggantungkan hidupnya di bisnis esek-esek itu juga pasti bakal terjadi.
Namun dia juga tak gentar. Ayah 3 anak itu mengaku sudah mengantungi identitas pentolan preman yang memegang kawasan Kalijodo.
"Kalijodo kita sudah teliti, kita sudah tahu siapa pemainnya. Kita identifikasi bosnya mana, yang ngaku preman mana."
Apalagi, dia mengklaim, jajarannya juga sudah mendapatkan dukungan penuh dari Polda Metro Jaya dan Kodam Jaya.
Di sisi lain, mantan Bupati Belitung Timur itu curiga, sulitnya membersihkan kawasan Kalijodo lantaran ada oknum pemerintahan yang bermain di sana.
Kecurigaan itu muncul seiring informasi yang menyebut bahwa perputaran uang dari bisnis gelap di Kalijodo cukup besar. Padahal lokasinya kecil, namun hingga kini bisnis esek-esek di kawasan itu masih bertahan.
"Makanya saya nggak tahu, pasti ada terlibat oknum (pemerintah). Kalau nggak ada, nggak mungkin bisa bertahan begitu lama," ujar dia.
"Kalijodo jangan lihat kecil gitu loh. Ini uangnya besar. Ini bukan cuma prostitusi. Kalau lihat sejarah dari dulu kan ada perjudian. Perjudian itu yang kencang. Makanya kita pikir, kalau gitu selesaikan (bongkar) saja sekalian."
Sementara itu Polda Metro Jaya mengaku mendukung rencana Gubernur Ahok. Seperti disampaikan Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal (Irjen) Tito Karnavian.
Tito menuturkan, Kalijodo selama ini telah menjadi sarang preman, tempat perjudian, dan penjualan minuman beralkohol. Karena itu Polda Metro Jaya akan siap membantu untuk membersihkan kawasan itu.
"Kami enggak ingin di Jakarta ada tempat seperti itu apalagi jadi sarang kejahatan. Kemarin kita lihat sendiri ada kasus Fortuner, mabok dari sana (Kalijodo), nabrak 4 orang mati," ujar Tito.
"Kita siapkan pasukan sebanyak mungkin terutama hadapi premanisme. Saya dukung sepenuhnya, mekanismenya nanti kita akan bicarakan dengan Pemda, (pemerintah daerah) Kodam, minggu depan," ucap Tito.
Tewasnya Si Raja Judi
Namun tak melulu tentang kisah cinta sesaat, Kalijodo juga menyimpan cerita kelam lain dari lokalisasi judi yang dikuasai 2 kelompok di kawasan tersebut.
Banyak lorong-lorong sempit yang tersebar di Kalijodo. Hal itu yang memudahkan para bandar judi dan petaruhnya lari setiap kali ada penggerebekan polisi.
Di sanalah Daeng Leang si Raja Taruh tinggal dan meregang nyawa. Suatu malam pada 1993, terjadi perselisihan di sebuah rumah judi. Lokasinya hanya 200 meter dari rumah judi kelompok lawan milik Daeng Leang.
Kisah Daeng Leang ini juga dikisahkan dalam buku yang ditulis Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Krishna Murti, Geger Kalijodo. Krishna bercerita di rumah tersebut terjadi perang mulut antara para petaruh dan bandar judi.
Meja judi pun dibalikkan. Hingga tiba-tiba terdengar suara pelatuk senapan yang memicu rusuh.
Kelompok judi Daeng Leang diduga sebagai pemicu konflik di rumah judi tersebut. Kedua kelompok pun saling lempar batu bata. Akibatnya sebanyak 7 rumah rusak.
Bak menjemput ajalnya sendiri, pasca-bentrok, Daeng Leang yang mengira situasi sudah aman mendatangi rumah kelompok judi yang semula rusuh tersebut. Disebutkan, Leang tewas setelah ditusuk oleh anggota kelompok di rumah judi itu. Jenazahnya lantas diseret sejauh 20 meter dan lantas diceburkan ke kali.
Krishna bercerita, sepeninggal Leang, bentrok antar-kelompok di Kalijodo makin jarang terjadi.
"Hal ini lantaran hanya ada satu tokoh yang disegani oleh kedua kelompok. Tokoh tersebut adalah Kamilong, seorang pensiunan tentara yang sudah lama menetap di kawasan tersebut," kata Krishna.
Advertisement