Duit Panas Koruptor Nyangkut di Kasubdit MA

Belum diketahui apakah ini adalah modus baru atau sudah lama dan baru terendus.

oleh Sugeng TrionoOscar FerriAndrie Harianto diperbarui 14 Feb 2016, 00:07 WIB
Gedung Mahkamah Agung (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur PT Citra Gading Asritama Ichsan Suaidi (IS) terpaksa gigit jari. Niatnya lepas dari jerat korupsi, ternyata tidak berhasil. Lagi-lagi, dia berurusan dengan kasus korupsi.

Kali ini tampaknya lebih berat. Dia tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menyuap seorang pejabat di lingkungan Direktorat Kasasi dan PK, Andri Tristianto Sutrisna (ATS).

Selain ATS dan IS, juga ada Awang Lazuardi Embat (ALE) yang juga ditangkap KPK, Jumat 12 Februari 2016 sekitar pukul 22.30 WIB, di halaman sebuah hotel di Gading Serpong, Jakarta Utara.

ATS ditangkap di rumahnya di kawasan Gading Serpong. Sementara, IS dan ALE ditangkap di halaman sebuah hotel yang berjarak tidak begitu jauh dari rumah ATS di Gading Serpong.

ALE adalah seorang pengacara yang mendampingi kasus IS. Baik ATS, IS, dan ALE ketiganya kini telah resmi menyandang status tersangka. Khusus bagi IS, status tersangka yang disandanganya adalah untuk kedua kalinya.

Sebelumnya, IS telah menyandang status tersangka dalam perkara dugaan korupsi pembanguan Dermaga Labuhan Haji, Lombok Timur. Proyek yang bergulir 2013 itu menelan biaya Rp 82 miliar dan dibayarkan dari APBD Lombok Timur sebesar Rp 71 miliar.

"Tiga tersangka yang ditetapkan adalah ALE, ATS dan IS. Transaksinya di parkiran salah satu hotel di kawasan Gading Serpong," kata Kabag Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha, Sabtu (13/2/2016).

Ichsan dan Awang disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a dan b atau Pasal 13 Undang-undang Pemberantasan Korupai juncto Pasal 55 KUHPidana. Sedangkan Andri dijerat Pasal 12 huruf a dan b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Korupsi.


Menunda Salinan Putusan

Kabag Informasi dan Pemberitaan KPK Priharsa Nugraha (kanan) memberikan keterangan pers, Jakarta, Sabtu (13/2). 3 dari enam orang yang terjaring OTT ditetapkan sebagai tersangka suap penundaan pengiriman salinan putusan kasasi.(Liputan6.com/Faizal Fanani)

Menurut Priharsa, penyidik menemukan dugaan hasil suap dari IS kepada ATS senilai Rp 400 juta. Uang itu digunakan IS agar ATS tidak buru-buru mengirimkan salinan putusan hasil kasasi yang menjeratnya.

"Penangkapan ini berkaitan dengan transaksi yang berkaitan dengan penundaan salinan putusan kasasi," kata Priharsa.

"Berkaitan penundaan permintaan salinan putusan penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan IS. Perkara ini sudah ada putusan kasasi," dia menambahkan.

Memang kasus yang dihadapi IS tengah bergulir di tingkat kasasi. Di tingkat Pengadilan Tipikor Mataram, IS dan 2 rekannya -Lalu Gafar Ismail dan M Zuhri, divonis 1,5 tahun penjara. Hakim juga menjatuhkan denda Rp 50 juta kepada ketiganya.

Tidak terima, ketiganya mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Mataram. Tak dinyana, hakim makin memberatkan hukuman penjara ketiganya menjadi 3 tahun penjara dan denda Rp 200 juta kepada masing-masing terdakwa.

Masih belum puas, ketiga terdakwa melayangkan kasasi terhadap kasus yang membelit mereka. Berkas kasasi sendiri dikirim Juli 2014.

Meski berkas dikirim bersamaan, usut punya usut hanya berkas putusan kasasi Lalu Gafar yang diterima Pengadilan Negeri Mataram, September 2015.

Dalam salinan tersebut, Majelis Hakim Mahkamah Agung justru menambahkan vonis yang semula 3 tahun penjara di tingkat Pengadilan Tinggi, menjadi 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta.

Hakim Agung Artidjo Altkotsar adalah yang mengetuk dan memberi 'bonus' hukuman kepada Lalu Gafar.

Namun, berkas petikan putusan untuk IS dan M Zuhri belum kunjung diterima PN Mataram.

Ada beberapa kemungkinan IS ingin menunda salinan putusan, salah satunya memberi ruang gerak agar Jaksa tidak segera mengeksekusinya dan dia dapat leluasa melenggang keluar Indonesia.


Rp 400 Juta dan Duit Lainnya

Pemimpin KPK baru berfoto usai peresmian gedung baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Selasa (29/12). Peresmian gedung KPK tersebut juga bertepatan dengan HUT KPK ke-12. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Kepala Sub Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Andri Tristianto Sutrisna (ATS), ditangkap KPK karena dugaan suap untuk menunda salinan putusan terdakwa korupsi.

Penyidik menemukan 400 juta di kediaman ATS. Duit tersebut diduga sebagai suap dari terdakwa korupsi, IS. Duit tersusun rapih di sebuah tas kertas.

Namun, penyidik juga menemukan seumlah uang lainnya di dalam sebuah koper saat penggeledahan. Tapi, apakah terkait kasus sama? KPK masih perlu pendalaman.

"Saat ditangkap di rumahnya, ditemukan 400 juta bersama uang lainnya ada di koper," kata Plh Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (13/2/2016).

"Mengenai itu (jumlah dan uang dollar atau rupiah) masih dalam penghitungan. Sementara yang disampaikan kejadian OTT (Operasi Tangkap Tangan) semalam di sana," tutur Yayuk.


Usaha Koruptor Agar Bebas

Mungkin 3 hal ini bisa bikin koruptor jera!

Berbagai cara dilakukan koruptor untuk terbebas dan lepas dari segala hukuman. IS, menjadi salah satu contohnya. Upaya hukum yang dia dan 2 temannya lakukan tidak membuahkan hasil.

Jangankan berharap keringanan hukuman, hakim di tingkat PT dan MA malah makin memperberat hukuman. Para pengusaha ini putar otak. Segala celah diupayakan, termasuk menyuap Kasubdit Kasasi dan PK, agar salinan putusan tidak kunjung diberikan ke pengadilan negeri untuk kemudian dieksekusi jaksa.

Lalu, seperti apa lingkup tugas ATS yang digadang-gadang dapat menahan salinan putusan agar terdakwa tidak segera dieksekusi?

Menurut juru bicara MA Suhadi, AS sudah lama bekerja di MA. "Sudah 10 tahun lebih. Makanya dia dapat jabatan," kata Suhadi dikonfirmasi di Jakarta, Sabtu (13/2/2016).

Dia menegaskan, tugas pokok dan fungsi AS di MA tidak terkait langsung dengan kasus atau perkara yang masuk ke MA. Setiap perkara yang masuk ke kantor MA melalui pengajuan ke bagian umum. Di sana perkara belum bisa tercatat atau dengan kata lain belum teregistrasi.

"Jadi perkara itu sebelum dikasih nomor ya. Jadi setelah diterima dari pengadilan, itu pengajuan (perkara) masuk ke bagian umum. Karena itu pintu masuknya semua dokumen. Kemudian dipilah-pilah perkara sesuai dengan jenis perkaranya," ujar Suhadi.

Kemudian, perkara perdata atau pidana langsung ditelaah oleh bagian umum. Melalui dokumen yang masuk, bisa dilihat apakah perkara itu secara formal sudah terpenuhi atau belum. Jika sudah lengkap secara formal, dokumen perkara akan langsung diserahkan kepada panitera muda melalui Direktur Pranata Perdata atau yang menaungi Kasubdit Pranata Perdata yang dijabat AS.

"Akte kasasi sudah ada atau belum? Dan memori kasasi udah ada atau belum? Jika sudah ada, direktorat itu meminta ke pengadilan pengajunya, misalkan ini ada yang kurang pernyataan kasasinya, jadi segera dikirim. Jika semua sudah lengkap dilimpahkan ke panitera muda, itu bagian dari kepaniteraan," beber Suhadi.

Selanjutnya perkara itu akan dimasukkan panitera muda untuk mendapatkan nomor registrasi perkara yang ditangani MA. Dari situ yang berperkara baru bisa mendapatkan informasi bahwa perkara akan diproses oleh MA.

"Panitera muda masukkan ke dalam register, baru perkara itu lahir, sudah bernomor. Setelah itu diberitahukan pada mereka yang berperkara, bahwa perkara itu udah memenuhi persyaratan. Dan itu bukan di direktorat tapi di panitera muda," jelas dia.

Dari panitera muda, Suhadi melanjutkan, lalu disampaikan ke panitera. Selanjutnya dari panitera, berkas perkara diserahkan ke Ketua MA. Di situ Ketua MA membagi tugas ke Hakim Agung untuk menangani perkara tersebut.

"Dari panitera muda baru Ketua MA, lalu membagi tugas ke Hakim Agung. Setelah itu dilimpah ke kamar perdata. Setelah ketua majelis (yang menangani perkara) menerima, perkara juga diberitahukan ke masing-masing anggota. Semua anggota diberi berkas perkaranya, lalu ditentukan kapan diputuskan," papar dia.

Menurut Suhadi, kasus ini belum terang benderang. Dari situ pihaknya masih menunggu kronologi kejadian operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap AS. Ia juga menampik jika dikatakan setiap perkara yang masuk dan ditangani MA langsung bersentuhan dengan hakim MA atau yang menangani perkara tersebut.

"Jadi tidak ada hubungan langsung antara hakim yang memeriksa dengan perkara yang ada di direktorat. Kalau melihat kasus ini, enggak bisa dijawab dia menangani perkara ini, jadi diteliti dulu ya korelasi menurut kasusnya gimana. KPK yang paling tahu," tutup Suhadi.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya