Liputan6.com, Jakarta Pengamen cantik yang menjadi perbincangan sejumlah kelompok masyarakat karena masih muda dan dianggap 'cantik' ini menjadi sebuah potret kehidupan, dari beribu-ribu anak jalanan yang mungkin senasib dengan Yanty.
Pemilik nama lengkap Aprilyanty (14), ini berprofesi sebagai pengamen bus kota di Grogol, Jakarta Barat. Sejak kematian bapaknya ia mengaku putus sekolah dan memilih untuk melanjutkan hidup sebagai pengamen, seperti mendiang bapaknya.
Di umur yang tergolong belia ia terpaksa menjalani hidup yang sebenarnya belum menjadi tanggung jawabnya.
"Sebelum lewat dari usia 17 tahun secara ilmu psikologi perkembangan anak, ia termasuk dalam kategori Late Adolescence (remaja akhir) - yang idealnya anak umur segitu punya Orientasi Masa Depan atau OMD", psikolog Efnie Indrianie, M.Psi, menjelaskan kepada Health-Liputan6.com. Selasa (16/02/2016).
Baca Juga
Advertisement
Teori OMD ini merupakan sebuah ajaran di mana anak di bawah 17 tahun idealnya hanya memikirkan pendidikan dan pencapaian cita-citanya.
Pada kondisi anak jalanan teori ini belum berlaku dalam kehidupan mereka akibat tanggung jawab mereka adalah menjadi tulang punggung keluarga.
Psikolog Efinie menjelaskan bahwa anak-anak seperti Yanty terpaksa bahkan dipaksa secara mental untuk bertanggung jawab atas pekerjaan mereka, sehingga OMD mereka tidak jelas.
Seperti Yanty yang mengaku tak ingin melanjutkan pendidikannya merupakan satu dampak yang terjadi, akibat tuntutan hidup secara ekonomi membuat ia berada pada kondisi pesimistik.
"Hal seperti ini merupakan salah satu social problem (di Indonesia) yang belum dapat ditangani, karena butuh waktu lama untuk memberikan pandangan di kondisi mereka (anak jalanan) yang tidak punya activation plan dalam hidupnya, sehingga mereka tidak tau akhirnya nanti seperti apa", jelas psikolog yang mejadi dosen di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, Bandung.
Menurut Efni masalah sosial seperti ini memang sulit ditangani dalam waktu singkat. Butuh waktu panjang untuk memberikan pengertian kepada anak jalanan, dengan pendekatan psikologis secara intim.
"Pada anak yang hidup di jalanan gak bisa mendadak diberikan edukasi psikologi seperti ini. Karena pola pikir mereka hanya sebatas bagaimana cara mendapatkan uang untuk makan dan hidup sehari-hari", jelas Efni.
Efni menegaskan, pada umumnya manusia menjalankan hidupnya secara bertahap seperti teori Maslow - di mana kebutuhan manusia harus terpenuhi dari segi fisiologis mereka seperti sandang, pangan, dan papan. Saat tahap pertama sudah terpenuhi manusia baru bisa melanjutkan tahap kedua.
"Mereka yang besar di jalanan hanya memikirkan kebutuhan fisiologisnya saja, sehingga kebanyakan anak memilih untuk tetap bekerja dibanding mendapatkan pendidikan, walaupun sudah gratis", pungkas Efni.
Untuk penanganan masalah sosial seperti ini perlu longitudinal experiment minimal satu tahun, untuk memberikan pendampingan juga pemenuhan fasilitas kepada anak-anak jalanan, secara bertahap.
"Biasanya dalam pemberian edukasi ini adalah saling sharing cerita inspiratif, berikan kisah-kisah yang memotivasi mereka, dan konseling tapi gak sampe terapis", tutup Efni.