Liputan6.com, Jakarta - Kalijodo sudah melegenda di tanah Betawi. Sejak zaman dulu, kawasan Kalijodo dikenal sebagai tempat mencari hiburan.
Kalijodo yang terletak di Penjaringan, Jakarta Utara yang dulu bernama Kali Angke, di masa lalu kerap menjadi lokasi perayaan Pesta Air alias Peh Cun. Tradisi Tionghoa yang digelar setiap 100 hari usai Imlek, yang menjadi tempat berkumpul dan bertemunya para muda-mudi.
Bahkan kisah Kalijodo pernah diangkat dalam film Ca Bau Kan, buah karya novelis Remy Silado. Sayang, sejak 1970-an, wajah Kalijodo semakin buram dan lebih lekat sebagai kawasan prostitusi.
Beberapa kali kawasan ini disebut-sebut akan digusur, namun Kalijodo tetap berdiri. Belakangan, dengan alasan berada di jalur hijau, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama memastikan akan segera mengubah wajah Kalijodo menjadi taman.
Namun, rencana Gubernur Basuki atau Ahok, tampaknya akan menemui jalan terjal. Pasalnya, warga kawasan Kalijodo menentang penertiban itu. Melalui pengacaranya, Razman Arif Nasution, warga Kalijodo mengecam tindakan sosialisasi dan penempelan pemberitahuan penertiban oleh Ahok yang dinilai tidak manusiawi. Sebab, sosialisasi itu mengikutsertakan ratusan polisi bersenjata laras panjang.
"Warga Kalijodo ada yang langsung kena serangan jantung, satu orang terpaksa dirawat di rumah sakit," ujar Razman Arif Nasution, di Kalijodo, Selasa (16/2/2016). Menurut dia, tindakan Ahok menunjukkan sikap represif dan sentimen yang tinggi pada rakyat miskin.
Dia tak menampik jika Kalijodo adalah kawasan prostitusi. Namun, dia mempertanyakan keberpihakan Ahok. "Ada 'jajan' menengah ke bawah, ada 'jajan' menengah ke atas bos! Kalau mau tertibin prostitusi, ya tertibin juga dong tempat 'jajan' kelas menengah atas," tantang Arif yang disambut teriakan warga.
Pentolan Kalijodo, Abdul Azis yang akrab disapa Daeng Aziz, bahkan mengultimatum Ahok. Dia mengancam Ahok agar tak lagi mengusik ketenangan warga Kalijodo. Tindakan Ahok yang mengirim ratusan polisi dan TNI dalam sosialisasi dianggai sebagai penyalahgunaan wewenang.
Ahok Musuh Bersama
Bertopi koboi dan kemeja lengan panjang berwarna abu-abu dengan celana panjang warna senada, Daeng Aziz mengatakan, tudingan Ahok pada warga Kalijodo yang menduduki tanah negara tidak beralasan. Sebab, beberapa warga memiliki sertifikat tanah resmi.
Ia bahkan menyatakan Ahok sebagai musuh bersama. Dia juga mengajak para korban penggusuran Ahok untuk menuntut keadilan. "Yang punya kewenangan adalah, musuh bersama," ucap Daeng.
Daeng Aziz memperingatkan Ahok bahwa ia hampir kehilangan kesabaran. "Pada prinsipnya, jangan saya dipaksakan untuk melawan," kecam Daeng yang disambut teriakan "lawan, tolak penggusuran," oleh warga.
Daeng Azis disebut-sebut sebagai pemimpin salah satu kelompok di Kalijodo. Dia memiliki seratusan anak buah. Tugas mereka adalah mengamankan Kalijodo dan memastikan roda bisnis di tempat itu terus berputar.
Pada 2001, saat terjadi bentrok antaretnis di Kalijodo, Azis disebut-sebut sebagai orang yang menodongkan pistol ke arah Komisaris Besar Krishna Murti, Direktur Reserse Kriminal Umum (Reskrimum) Polda Metro Jaya. Krisna saat itu bertugas sebagai Kapolsek Penjaringan dan menyandang pangkat Ajun Komisaris Besar.
Baca Juga
Advertisement
"Jangan ada yang mendekat!" tulis Krishna menirukan gertakan Daeng Azis, dalam bukunya berjudul Geger Kalijodo. Buku karya Krishna tersebut menceritakan pola penyelesaian konflik antaretnis yang terjadi di kawasan perjudian dan prostitusi kala itu. Krishna menyebut Daeng Azis dalam karya ilmiahnya itu dengan nama si Bedul.
Dalam buku itu diceritakan saat Krishna berada tidak jauh dari lokasi tergeletaknya jasad yang merupakan adik Daeng Azis, Udin. Tiba-tiba saja Krishna mendengar 2 kali letusan.
Dia mengira letusan tersebut berasal dari pistol anak buahnya. Setelah dilihat ternyata Daeng Azis-lah yang menarik pelatuk pistol tersebut. Krishna meminta dia menyerahkan pistol tersebut namun malah berbalas gertakan.
Saat laras pistol Daeng Azis mengarah ke Krishna, suasana seketika tegang. "Jika pelatuk itu ditarik tamat juga riwayat saya. Kalau pun melawan dengan mencabut pistol, pasti ia lebih cepat menarik pelatuk," cerita Krishna.
"Saya ini Kapolsek. Jika kamu tembak saya, saya mati tidak masalah karena saya sedang bertugas demi bangsa dan negara. Namun, kalau saya mati Anda semua akan habis," ujar Krishna menatap tajam Daeng Azis.
Dikonfirmasi terpisah, Komisaris Krishna Murti membenarkan bahwa si Bedul adalah Daeng Azis. "Iya, si Bedul itu Daeng Azis, pernah saya tahan karena kasus kepemilikan senjata api," cerita Krishna kepada Liputan6.com.
Daeng Azis saat itu dikenal sebagai orang yang memiliki lapak judi dan kafe. "Dia sudah buka lama, puluhan tahun," ujar perwira menengah yang pernah bertugas di Markas Besar PBB ini. Saat itu pula, dia dan jajarannya bergerak cepat meringkus 290 preman dan penjudi yang biasa mangkal di Kalijodo.
"Sudah habis preman-preman itu zaman saya, sudah rata," kata Krishna.
Negara Tidak Diatur Preman
Memang tidak mudah mengurusi kawasan prostitusi yang sudah berdiri sejak 1930-an itu. Ditambah lagi gap antarkelompok yang kerap berseteru dalam persaingan bisnis panas mereka.
"Gerak cepat diperlukan sebelum masalahnya berkembang terlalu jauh. Kami seakan berkejaran dengan waktu, dalam situasi yang panas oleh konflik. Isu dan rumors biasanya berdesingan secepat peluru," ujar Krishna.
Salah satu sesepuh Kalijodo yang juga pensiunan tentara, membenarkan sosok Bedul Adalah Daeng Aziz dalam buku yang ditulis Krishna. "Ya itu dia, saat itu saya juga di sana," kata Kunarso saat berbincang dengan Liputan6.com.
Menurut Kunarso, di kalangan masyarakat Kalijodo, khususnya di 'kawasan bisnis'-nya, Azis dikenal sebagai tokoh. Dia juga dikenal sebagai pengusaha yang memiliki banyak orang bergantung pada dia.
"Dia pengusaha bir," kata Kunarso.
Beberapa hari lalu, Daeng Azis, mendatangi kantor Komnas HAM dan DPRD DKI Jakarta untuk mengadukan rencana Pemprov DKI Jakarta menggusur lokasi prostitusi dan perjudian Kalijodo.
Terkait perseteruan Ahok dan Daeng Aziz, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Pemerintah DKI menampung aspirasi warga, namun tidak menghambat penertiban.
"Ya tentu punya aspirasi dan paling penting jalankan hukum dengan baik, dengan tertib. Bukan soal dengan siapa, tetap pemerintah harus menjalankan hukum dengan baik," JK menegaskan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan memberikan ancaman pada Daeng Aziz agar tidak membuat ulah.
"Negara ini tidak diatur oleh preman, berkali-kali saya bilang. Ingat itu," ucap Luhut di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa.
Dia pun meminta Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melakukan penertiban sesuai dengan aturan yang berlaku. Kalijodo akan ditertibkan karena daerah itu termasuk sebagai jalur hijau.
Ahok sendiri menyebut masalah Kalijodo berbeda dengan lokalisasi Kramat Tunggak, Jakarta Utara, mapun Dolly di Surabaya.
"Beda, kalau di Surabaya masyarakat yang kuasai tanah. Di Kramat Tunggak juga sama," ucap Ahok di Balai Kota Jakarta. Sementara di Kalijodo, Ahok tidak hanya mempersoalkan bisnis prostitusi yang tumbuh subur selama bertahun-tahun, tapi ia ingin membongkar Kalijodo karena berada di jalur hijau.
"Kalau Kalijodo itu beda. Itu tanah jalur hijau didudukin. Saya nggak persoalkan prostitusi. Saya mau beresin jalur hijau," kata Ahok.
Untuk mengatasi masalah Pekerja Seks Komersial (PSK) yang akan kehilangan mata pencaharian dengan ditutupnya Kalijodo, Ahok menawarkan mereka bekerja sebagai petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) untuk Pemprov DKI Jakarta. "Sekarang mau kerja apa? Kerja PPSU mau nggak? Mana mau kerja yang capek lu," ucap Ahok.