Liputan6.com, Jakarta - Badan Legislasi DPR telah merampungkan rancangan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selanjutnya revisi UU KPK akan dibahas di rapat paripurna besok, Kamis 18 Februari 2016.
Salah satu pasal yang paling disorot adalah Bab VA mengenai keberadaan Dewan Pengawas. Dalam Pasal 37 dan 38 itu, DPR memberikan kewenangan yang luar biasa besar kepada para pengawas KPK.
Pada Pasal 37A, disebutkan bahwa Dewan Pengawas merupakan lembaga nonstruktural yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri. Anggota Dewan Pengawas berjumlah 5 orang, 1 orang di antaranya ditetapkan menjadi ketua Dewan Pengawas berdasarkan keputusan hasil rapat anggota Dewan Pengawas.
Sementara dalam Pasal 37B, Dewan Pengawas itu memiliki kewenangan mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, memberikan izin penyadapan dan penyitaan, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan KPK, menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK dan melakukan evaluasi kinerja pimpinan KPK secara berkala 1 kali dalam 1 tahun.
Kemudian, Dewan Pengawas juga menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK dan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dewan Pengawas juga bertugas membuat laporan pelaksanaan tugas secara berkala 1 kali dalam 1 tahun. Laporan itu disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Baca Juga
Advertisement
Namun, DPR juga memberikan syarat bahwa anggota Dewan Pengawas tak boleh menjadi anggota atau pengurus sebuah partai politik. Jika dia berasal dari partai politik, maka harus melepaskan jabatannya dan tidak menjalankan profesinya selama menjadi Dewan Pengawas.
Anggota Dewan Pengawas itu nantinya akan diangkat oleh Presiden. Saat mencari anggota, Presiden juga harus membentuk panitia seleksi.
Berbeda dengan Harapan KPK
Mantan Pimpinan KPK Taufiequrachman Ruki menyetujui beberapa poin dalam revisi UU itu. Misalnya, terkait kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Kata Ruki, perlu audit bagi penyadapan yang dilakukan KPK. Namun, tidak sampai harus meminta izin pengadilan.
Kedua, terkait pembentukan dewan pengawas KPK. Ruki setuju ada lembaga yang bertugas mengawasi kinerja KPK. Menurutnya, pengawas harus berada di luar struktur organisasi KPK.
Ketiga, terkait kewenangan KPK mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3). Dia menolak penghentian penyidikan dan penuntutan umum hanya karena kurangnya alat bukti. Namun, dia menyetujui adanya SP3 bagi tersangka yang meninggal dunia atau sakit keras.
Keempat, kewenangan KPK dalam mengangkat penyelidik, penyidik dan penuntut umum. Ruki menilai KPK tetap memiliki kewenangan mengangkat penyidiknya secara mandiri.
Namun, belakangan draf revisi itu berbeda dengan permintaan KPK. Ruki meminta agar dewan pengawas itu diperlukan hanya untuk mengawasi kinerja KPK dan dilaporkan ke presiden. Namun, ternyata dalam draf, dewan pengawas juga berwewenang ikut campur dalam proses penyidikan seperti pemberian izin penyadapan.