Liputan6.com, Jakarta - Pembangunan hotel dinilai dapat mendukung keberadaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung terutama di sekitar area stasiun.
Vice President Advisory Services Coldwell Banker Commercial Dani Indra Bhatara menuturkan, area di sektor stasiun-stasiun kereta cepat lebih condong untuk pengembangan pariwisata dan bisnis. Di Walini, misalnya cocok untuk pengembangan pariwisata, sedangkan di Tegalluar yang lokasinya tidak jauh dari kawasan Gedebage lebih baik dikembangkan untuk pusat bisnis.
"Sementara titik di sekitar stasiun ada dua tipe, sifatnya tourism dan komersial. Seperti di Walini cenderung tourism sehingga perkembangannya akan didorong ke tourism. Sedangkan di wilayah Gedebage areanya didorong untuk bisnis," ujar dia, Rabu (17/2/2016).
Melihat kondisi itu, Dani menilai bila dibangun perumahan di sekitar area stasiun kereta cepat yang sifatnya premium untuk masyarakat kelas atas.
Baca Juga
Advertisement
Dani menambahkan, pembangunan hotel lebih memungkinkan di areal sekitar stasiun kereta cepat. Ini juga mendukung keberadaan kereta cepat.
"Kalau hotel mungkin, karena berkaitan dengan tourism. Tapi nanti tergantung berapa banyak turis yang akan datang ke sana dan jenis kegiatan yang akan di-create di situ. Itu yang akan sebabkan traffic baru, yang akan mempengaruhi pertumbuhan hotel, berapa banyak yang datang, menginap atau tidak, berapa lama spending time di area tersebut. Tapi hotel bisnis (budget) agak sulit berkembang di sana," kata dia.
Sebelumnya Direktur Transportasi Kementerian PPN/Bappenas Bambang Prihartono mengatakan, sama seperti proyek pembangunan angkutan massal lainnya, proyek kereta cepat sebenarnya merupakan proyek rugi. Hal ini tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.
"Di mana ada angkutan massal itu untung? Itu proyek rugi. Di Belanda, Prancis, Inggris itu ditanggung pemerintah.MRT juga awalnya rugi dulu," ujar Bambang, Jumat 12 Februari 2016.
Namun demikian, di sisi lain, keberadaan kereta cepat juga memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Seperti halnya yang terjadi di China. Dari studi kasus kereta cepat Beijing-Shanghai, keberadaan moda transportasi tersebut mampu mendorong pertumbuhan GDP kota-kota yang dilaluinya.
Seperti di kota Jinan yang GDP-nya mampu tumbuh 0,55 persen per tahun, di Jilin sebesar 0,63 persen dan di Dezhou sebesar 1 persen.
"Jadi kita lihat proyek ini sebagai key driver untuk pengembangan wilayah. Di China, tiap daerah yang disinggahi itu tumbuh 0,6 persen-1 persen. Selain itu, ini juga bisa memotong biaya logistik sebesar 1 persen," kata dia.
Oleh sebab itu, meski proyek tersebut merupakan proyek rugi, namun jika masih memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi, maka proyek tersebut akan mendapatkan dukungan dari pemerintah.
"Kalau dilihat secara single proyek ya memang rugi. Karena itu muncul peran pemerintah dalam hal percepatan perizinan. Kalau dipercepat, itu keuntungan yang besar buat swasta," ujar dia. (Dny/Ahm)