Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah aparat keamanan berseragam mendatangi Jalan Kepanduan II RW 05, Kelurahan Penjagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Sekitar 300 petugas berseragam membagikan Surat Peringatan (SP) 1 tentang pengosongan bangunan milik warga di kawasan yang lebih dikenal dengan nama Kalijodo itu.
Para petugas yang terdiri dari Satpol PP, polisi, dan tentara itu dipecah menjadi 5 tim untuk mengawal aparatur Kelurahan Penjagalan dan Kecamatan Penjaringan ketika membagikan SP 1.
"Kami pecah 5 tim. Karena ada 5 RT di RW 05 ini yang kita kasih SP1. Yaitu RT 01, 03, 04, 05, dan 06," ujar Sekretaris Kelurahan Penjagalan, Ichsan Firdaosyi di RT 05, Kalijodo, Jakarta Utara, Kamis (18/2/2016).
Warga pun dengan berat hati menerima SP 1 itu. Mereka masih tak terima dengan rencana relokasi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI kawasan Kalijodo. Salah satunya Syarif (56).
Syarif mengaku Pemprov DKI sama sekali tak melakukan sosialisasi terhadap rencana relokasi ini.
Baca Juga
Advertisement
Menurut dia, Ahok benar-benar tidak mempedulikan warga Kalijodo yang menginginkan adanya dialog. Bagi Syarif, dialog antara warga dengan Gubernur DKI itu sangat penting.
"Penting itu dialog. Datanglah ke sini. Kita duduk, kita ngobrol bareng-bareng. Carikan solusi yang terbaik buat kita. Bicara baik-baik sama kita," ujar Syarif yang sesekali mengisap rokok.
"Saya jamin, Ahok datang kemarin enggak akan dicolek. Ibu-ibu saja, secara kata, malam-malam datang ke sini aman, enggak dijambret. Datang ke sini, kita sediakan kopi, pisang goreng, sama kwetiau," lanjut pria yang punya 1 anak dan 1 cucu ini.
Pria tambun yang senang memakai topi ini menambahkan, dengan adanya SP 1 ini, semua warga seperti sudah tak bisa berbuat apa-apa. Ibaratnya, seseorang sudah lama berjalan, tapi menemui jalan buntu.
Bahkan, Syarif menganalogikan SP 1 ini layaknya sepucuk pistol yang sudah ditodongkan ke kening seorang terpidana mati. Tinggal menunggu waktu kapan pistol itu diletuskan.
"Tinggal nunggu dor saja ini mah namanya. Kita sudah enggak bisa apa-apa lagi," kata Syarif.
Padahal, lanjut dia, sama dengan kebanyakan warga Kalijodo lain, dia hanya ingin Pemprov DKI mau melunak terhadap warganya. Terutama soal ganti rugi. Meskipun, memang benar pemukiman warga yang digusur merupakan ruang terbuka hijau.
Dia mencontohkan dirinya sendiri. Sudah puluhan tahun, dia membangun usahanya di Kalijodo. Awalnya dia membuka warung makanan. Dari situ, usahanya terus berkembang. Sampai akhirnya ia mempunyai modal cukup untuk membangun kos-kosan.
"Saya sekarang punya kos-kosan. Sudah 5 tahun terakhir. Ada 17 kamar. Sekarang saya hidup dari situ. Sangat cukup untuk keperluan sehari-hari, sampai bisa kuliahin anak saya," ujar warga RT 04 RW 05 ini.
Syarif tegas menolak rencana relokasi ini. Sebab, sampai saat ini tak ada kejelasan dari Pemprov DKI tentang kelanjutan nasib warga Kalijodo pascapengusiran. Dia yang hanya memakai polo shirt, celana pendek, dan bersandal jepit, mengharapkan ada kompensasi.
Menurut dia, pasti ada dampak lanjutan dari relokasi yang akan dilakukan Pempriv DKI. Banyak warga yang akan kehilangan pekerjaan sekaligus penghasilannya.
"Dampaknya kan berkelanjutan. Anak-anak mau sekolah di mana? Usaha saya bagaimana? Apa iya nanti di rusun saya bisa bikin kos-kosan lagi? Kan enggak. Orang-orang luar kan tahunya PSK-nya doang di sini. Padahal banyak warga yang buka usaha kecil-kecilan untuk menyambung hidup," ujar dia.
"Makanya kami menolak penggusuran ini. Karena tidak ada kejelasan. Kami tidak dikasih opsi yang terbaik. Harusnya ada ganti rugi, minimal modal saya bangun usaha dulu bisa balik modal. Kami ini bukan kambing yang seenaknya diusir. Kambing saja mau jalan kalau dikasih empan," lanjut Syarif di Kalijodo.