Perjuangan RI Gagalkan Prancis Terapkan Pajak Tinggi Sawit

Bukan hanya Prancis yang menjegal perdagangan kelapa sawit Indonesia. Indikasi lain datang dari Rusia, Polandia, dan Republik Ceko.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 19 Feb 2016, 13:39 WIB
Kelapa sawit (AFP PHOTO/CHAIDEER MAHYUDDIN)

Liputan6.com, Jakarta - Ekspor kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia kerap terganjal aturan pajak tinggi dari negara lain. Salah satunya pemerintah Prancis yang berencana menerapkan pajak super bagi produk sawit mulai 2017.

Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit Bayu Krisnamurthi mengatakan, Indonesia sedang terbelit masalah pajak progresif dari pemerintah Prancis. Itu karena ekspor CPO yang selama ini menjadi andalan Indonesia bakal terganggu dengan kebijakan pajak tersebut.

"Prancis akan menerapkan pajak super, karena pungutan secara berkala naik dari mulai 300 Euro per ton sampai 900 Euro per ton. Ini belum ada sejarahnya, makanya kita bilang super tax," tegas Bayu saat ditemui di kantor Kemenko Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (19/2/2016).

Terkait ini, pemerintah, asosiasi sampai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melakukan berbagai upaya mulai dari melayangkan surat, bertolak ke Prancis untuk bernegosiasi dan lobi agar pemerintah setempat membatalkan rencana pungutan pajak tinggi itu.


Lebih jauh, Bayu mengatakan, penerapan pajak super ini tidak konsisten dengan Deklarasi Amsterdam yang diinisiasi Uni Eropa guna mendukung keberlanjutan CPO. Salah satu negara Uni Eropa yang menandatangani deklarasi tersebut adalah Prancis.

"Sudah tandatangan kok malah ngasih pajak super sebesar itu. Kalau memang ini disetujui, bisa disebut tindakan diskriminatif. Karena argumentasi teknis yang mereka ajukan, kita bisa bantah dan informasinya sama sekali tidak benar," terang Mantan Wakil Menteri Perdagangan itu.

Jika rencana ini benar terealisasi, tambah Bayu, justru akan merugikan pengusaha Prancis dan Eropa mengingat produk minyak sawit dari Indonesia dan negara produsen lain sangat berdampak positif bagi pelaku usaha di Eropa.

Dari catatannya, ekspor CPO Indonesia ke Prancis masih kecil. Tujuan utama ekspor CPO paling besar ke Belanda, Italia dan Spanyol. Namun Prancis membeli CPO Indonesia sebagian besar dari Belanda, karena kedua negara ini berbatasan langsung.

"Kita sangat konsen dengan hal-hal tersebut, karena ini menyangkut nasib petani dan kegiatan usaha produk sawit di RI. Kalau itu diterapkan, tidak fair buat kita. Tapi kita masih terus melobi sampai batas waktu 15 Maret 2016 supaya proposal pajak super tidak jadi diundangkan," dia menjelaskan.

Bayu menilai, pajak progresif diterapkan pemerintah sebuah negara karena kurangnya pemahaman dunia internasional terhadap sawit. Kebanyakan dari mereka, membayangkan hal-hal negatif terhadap asal muasal produk sawit dihasilkan, mulai dari penebangan pohon yang merusak lingkungan dan alasan lain.

Menurut dia, bukan hanya Prancis yang menjegal perdagangan kelapa sawit. Indikasi lain datang dari Rusia, Polandia, dan Republik Ceko dengan berbagai upaya ingin menghambat perdagangan sawit asal Indonesia dan negara lain.

"Sangat penting buat kita mempromosikan sawit secara objektif. Kita harus tunjukkan secara ilmiah bahwa sawit itu adalah a blessing to the world, anugerah bagi manusia, bukan musibah," kata Bayu. (Fik/Nrm)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya