Liputan6.com, Jakarta - Langit Jakarta, Minggu (21/2/2016) siang, terlihat cerah. Namun mendung tersirat di wajah para warga yang tinggal di kawasan Kalijodo, RT 001/RW 005.
Dasati (49), pemilik Warung Nasi Berkah yang sudah 13 tahun bermukim di Kalijodo, mengaku sudah selesai mengemasi perabot rumahnya. Bangunan semi permanen yang ia tinggali dengan suaminya akan segera ditertibkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadi ruang terbuka hijau.
"Saya mau pulang kampung saja ke Pemalang, Jawa Tengah. Di sini sudah 13 tahun dari 2002 sama suami berdua doang. Kita enggak punya KTP DKI, makanya pulang. Saya cuma jualan warung nasi. Enggak tahu kalau soal yang PSK-PSK (Pekerja Seks Komersial) di sini," ujar nenek 4 cucu ini.
Dasati mengaku ia dan suaminya, Darmin (57) tidak pernah terlibat kehidupan malam di Kalijodo. Warung nasinya hanya buka dari pukul 05.00 hingga 18.00 WIB.
Ia membantah warung nasinya menjadi tempat 'mangkal' para kupu-kupu malam. Pasutri yang menempati bangunan Nomor 57 RT 001/RW 005, Penjaringan, Jakarta Utara, ini pun merasa terkena imbas dari bisnis ilegal para tetangganya.
"Saya dagang hanya jam 5 pagi sampe 6 sore. Kalau enggak ada kejadian (Fortuner Maut), (Kalijodo) ini juga enggak digusur. Kenapa sini yang jadi sasaran? Kalau ngasih waktu sebulan kan jadi bisa cari kontrakan lain di luar Kalijodo. Saya sudah enggak jualan (nasi) sejak Senin. Saya beberes," jelas Dasati.
"Kok mendadak (penertibannya)? Dikasih waktu (mengosongkan rumah) enggak ada setengah bulan. Kita kan di sini sudah lama, dikasih waktu mendadak," sambung perempuan yang mengenakan daster putih bergambar doraemon itu.
Hal tersebut diakui Dasati memberi dampak pada kesehatannya. Karena merasa tertekan dan pusing memikirkan penertiban, tensi darah wanita paruh baya ini meningkat. Saat ditemui Liputan6.com, Dasati sedang mendapatkan pelayanan kesehatan dari Suku Dinas (Sudin) Kesehatan Pemkot Jakarta Utara.
"Ibunya ada hipertensi ya. Kita kasih obat gratis, ambilnya di Puskemas enggak usah bayar. Tensi darah Ibu 190/110," kata seorang petugas Sudin Kesehatan Pemkot Jakarta Utara.
"Saya jelas tertekan, sakit saya karena pengaruh penggusuran. Mau pulang enggak punya duit jadinya pusing," lirih Dasati.
Baca Juga
Advertisement
Kafe Dangdut
Setali tiga uang dengan Dasati, Sri (46) pemilik Kafe Dangdut Wisma Hero Pesona sekaligus 'mami' para PSK di kafenya memutuskan pulang ke daerah kelahirannya di Kudus, Jawa Tengah. Ia mengatakan, pada Sabtu 20 Februri malam, polisi menggeledah kafenya dan menyita ratusan minuman keras serta alat kontrasepsi dagangannya. Suaminya pun diboyong ke Mapolsek Penjaringan untuk dimintai keterangan.
"Saya usaha kafe ini sudah lama, dari jalan tol itu (Teluk Intan) belum jadi. 20 tahun lebih lah di sini. Dulu juga saya 'kerja' gitu (PSK). Suami saya dibawa polisi karena ada bir sama kondom di sini," tutur Sri ketika Liputan6.com menyambangi kafe seluas 10 x 5 meter persergi miliknya.
Sri menjelaskan, usaha yang dibangunnya selama 20 tahun meliputi penyewaan kamar bagi pasangan mesum, kafe dangdut, serta karaoke. Sejak geger kasus Fortuner Maut, kafenya mendadak sepi tamu. Sri mendengar, banyak pelanggan yang takut terkena razia, begitupun perempuan-perempuan malam binaannya.
Akhirnya gelak tawa dan canda manja para tamu dan perempuan malam binaannya yang sehari-hari terdengar pun sirna.
"Di sini ada karaoke, ada kamar jumlahnya 13. Waktu itu (sebelum kejadian Fortuner Maut), masih ada orang masuk, seminggu ini enggak ada lagi yang ke sini. Sistemnya (prostitusi) saya kenal anak-anak, kemudian (mereka) ada yang nunggu (tamu) di sini, ada yang datang sendiri sama tamu-tamu," ucap Sri sambil mengajak Liputan6.com melihat kamar-kamar maksiat di atas kafenya.
Dari pantauan Liputan6.com, kamar yang biasa disewa pasangan mesum terbilang sempit. Luasnya hanya 2x1 meter persegi. Kamar-kamar itu pun hanya disekat dengan triplek, bukan dinding tembok.
Sri mengaku dalam semalam ia bisa meraup keuntungan Rp 1 juta dari para tamu. Jika sepi, paling-paling pendapatannya hanya Rp 200 ribu hingga Rp 500 ribu per malam.
"(Pemasukan) RP 1 juta kalau ramai, kalau sepi ya paling cuma Rp 500 ribu. Kadang ada yang cuma minum, paling Rp 100 sampai Rp 150 ribu," imbuh wanita paruh baya ini sambil memantikkan korek api ke ujung rokok kreteknya.
Ia mengaku sebenarnya memiliki KTP Jakarta dan berhak mendapatkan rusun, namun ia tak memiliki rencana lain selain 'berdagang' jika tetap tinggal di ibukota. Apalagi di rumah susun, tambah Sri, ia diharuskan membayar sewa bulanan.
"Enggak mau ke rusun. Pikiran saya, mau bayar pakai apaan 'anak-anak' (PSK) saya juga takut kalau kena (razia), mereka takut dipenjara," tutup Sri.