Ketua Badan Anggaran MPR: Penyalagunaan Dana Bansos Masih Masif

Penyalahgunaan dana bansos i sesungguhnya merupakan korupsi dengan modus pengkhianatan wewenang.

oleh Liputan6 diperbarui 26 Feb 2016, 19:21 WIB
Penyalahgunaan dana bansos i sesungguhnya merupakan korupsi dengan modus pengkhianatan wewenang.

Liputan6.com, Jakarta Ketua Badan Anggaran MPR RI, Asri Anas, mengakui bahwa penyalahgunaan dana bantuan sosial (bansos) sangat masif dan tidak terkontrol di daerah. Apalagi menjelang momen pemilihan kepala daerah (pilkada) terutama kerap dilakukan oleh calon petahana.

”Penyalahgunaan dana bansos modus incumbent, tanpa kontrol efektif dewan dan masyarakat lokal. Hal ini sesungguhnya merupakan korupsi dengan modus pengkhianatan wewenang,” kata Asri saat menjadi prmbicara di acara Buku Bersama Wakil Rakyat  berjudul “Kiat-Kiat Terhindar Dari Korupsi Hibah dan Bansos” di Perpustakaan MPR RI, Jakarta, Kamis (25/2). Pada acara tersebut juga turut dihadiri oleh Sekjen MPR RI, Ma'ruf Cahyono.

Lebih lanjut, Asri Anas mengatakan bahwa penyalahgunaan dana Bansos di daerah terjadi karena kelemahan sistemik APBD. Dalam arti, APBD tidak disusun berdasarkan cara yang demokratis, dan tidak secara akademis.

“APBD disusun dengan bermain asum. Tidak ada riset sosial yang akuntabel secara akademis,” ujarnya.

Asri, dirinya sudah selalu berusaha mendorong para kepala daerah untuk bersinergi dengan lembaga yang ada, untuk memetakan jenis, bobot dan kebutuhan masing-masing daerah. Sehingga, APBD dapat disusun berbasis pemenuhan kebutuhan rakyat dan bukan berlomba memperbaiki rumah, mobil dan fasilitas pejabat.

Seperti diketahui, dana bansos memang dinilai rawan diselewengkan oleh kepala daerah incumbent. Hal itu setidaknya senada dengan hasil riset yang dilakukan Indonesia CorruptionWatch (ICW) dan Indonesia Budget Center (IBC) di lima provinsi besar di Indonesia, yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dari riset ditemukan modus korupsi politik dalam alokasi dana hibah untuk pemenangan pilkada, yaitu lembaga penerima fiktif, lembaga penerima alamatnya sama, aliran dana ke lembaga yang dipimpin keluarga atau kroni gubernur, dana hibah disunat, atau penerima bansos tidak jelas.

Hal tersebut bisa dilihat dari membengkaknya pengalokasian anggaran dari pos dana bansos dan hibah menjelang pilkada, serta besarnya dana hibah dan bansos yang turun setelah pilkada usai. Sebagai contoh menurutnya adalah alokasi dana hibah DKI Jakarta yang terus meningkat, dari tahun 2010 sebesar Rp 433,653 miliar, menjadi Rp 882,574 miliar di tahun 2011, dan Rp 1,367 triliun di tahun 2012.

Fenomena yang sama juga terjadi di empat provinsi lainnya. Di Banten misalnya, alokasi dana hibah terus meningkat dari tahun 2009 sebesar Rp 14 miliar, menjadi Rp 239,270 miliar pada tahun 2010, dan Rp 340,463 miliar di tahun 2011.

Sementara Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Harry Azhar Aziz, dalam pengantarnya di buku “Kiat-Kiat Terhindar Dari Korupsi Hibah dan Bansos” itu mengatakan, korupsi telah menjadi permasalahan akut dan sistemik yang membahayakan negara dan masyarakat di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Ditegaskannya, korupsi telah mencederai rakyat miskin dengan penyimpangan dana yang semestinya digunakan untuk kesejahteraan mereka, dan mengikis kemampuan pemerintah menyediakan pelayanan kebutuhan dasar bagi rakyatnya secara adil.

“Dengan kata lain, korupsi turut berkontribusi terjadinya keterbelakangan dan buruknya kinerja ekonomi, penghambat pembangunan dan pengentasan kemiskinan,” tandas Harry.

(*)

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya