Liputan6.com, Jakarta
“Untuk nona manis
Dengan mata sipit
Advertisement
Dan bibir yang tipis
Aduh hatiku sungguh terjepit”
Secarik kertas lusuh diberikan seorang teman kepadaku waktu bel istirahat berdentang. Kubuka diam-diam di bawah meja, takut terlihat teman-temanku yang lain sebab mereka tentu akan mengolok-olok. “Untuk Amoy,” begitu tertulis di lipatan luarnya. Tanpa nama sama sekali. Tapi aku sudah tahu ini dari siapa. Hanya ada satu orang di seluruh sekolah yang memanggilku dengan nama itu.
Bram. Ia dua tingkat di atasku di sekolah. Sebenarnya ia teman kakakku di rumah dan hubunganku dengannya hanya karena itu. Ya memang benar dulu aku juga suka bermain dengannya. Lazimnya seorang adik, aku tentu suka mengekori kakak ke mana-mana. Kami suka berendam di bak besar berplester semen di rumah bersama-sama. Aku, kakakku Asep, dan Bram bertingkah persis kuda nil, diam bermalas-malasan sambil telanjang dalam air seleher sampai kulit tangan kami berkeriput. Ibuku tak pernah marah meski kemudian ia mulai melarang kami melakukan itu lagi. Tak masalah. Kami masih bisa mencari bekicot sambil mencabuti kangkung yang tumbuh liar di rawa-rawa dekat sungai. Ibu biasanya berteriak histeris begitu aku pulang dengan pakaian penuh lumpur sambil memegang setangkup kangkung sementara kakakku membawa seember bekicot. Praktis setelah kaki kakakku disedot lintah, kami tak berani lagi turun ke rawa-rawa.
Setelah itu aku punya kesibukan baru: bermain dengan anak-anak perempuan. Aku akan mengumpulkan biji-biji yang jatuh di tanah, lalu meroncenya menjadi sebuah kalung atau gelang yang cantik. Kali lain aku akan pura-pura sedang memasak di atas pecahan genting dan alumunium. Dedaunan berwarna hijau kukumpulkan lalu kuiris-iris dengan silet, kumasukkan dalam air di atas cekungan alumunium yang kupungut dari jalanan. Atau kadang-kadang aku melempari biji pipih berwarna hijau ke dalam selokan lalu mendengar bunyinya yang nyaring bagaikan petasan. Asyik sekali.
Bram baru kukenal lagi di bangku sekolah menengah. Ia sudah tingkat akhir, sementara aku adalah siswa baru. Ini tak menyenangkan karena ia punya kekuasaan besar sebagai kakak kelas untuk membuatku malu. Ia, misalnya saja, pernah menyembunyikan sepatuku saat aku sedang praktik salat di musala sekolah. Terpaksa aku kembali ke kelas bertelanjang kaki. Ia juga pernah meneriakiku dari lantai tiga saat aku dan teman-teman sedang berlari keliling lapangan dalam pelajaran olahraga. “Hai Amooooy,” ia akan berseru demikian sambil menepuk punggungku setiap kali bertemu, tak peduli dengan wajah masamku menerima perlakuan itu.
Bram langganan dipanggil guru BK karena berbagai alasan. Ia umpamanya sering tertidur di kelas, suka membolos, dan sering datang terlambat. Namun karena ia ceria dan cerdas, guru-guru tak sampai hati mengeluarkannya meski kudengar poin kesalahannya sudah 100. Asal tahu saja, setiap kesalahan sekecil apa pun di sekolah kami, seperti terlambat masuk kelas saat pergantian pelajaran, bisa membuat kau kehilangan 5 poin. Bram sepertinya juga tak pernah bercukur. Rambutnya panjang dan acak-acakan, sehingga guru matematika kami yang terkenal galak, Pak Suprapto, membawa gunting cukur dan memangkas rambut Bram sesukanya. Tapi ia tidak marah dan lantas memilih menggunduli rambutnya demi menghilangkan potongan asal-asalan itu.
***
“Tolong ambilkan Ibu lengkuas, Yuk,” kata Ibu sambil mengaduk-aduk sayur di dalam panci.
Aku menyerahkan lengkuas kepada Ibu, yang lalu memipihkannya dengan batu buat mengulek, lalu memasukkannya ke dalam cairan berwarna kuning yang sedang menggelegak itu.
“Sebentar lagi rasanya pas,” kata Ibu setelah mencicipi kuah dari sendok sayur di tangannya.
“Banyak sekali masakan Ibu?”
“Ini harus dirayakan. Sebab Yayuk sekarang sudah selesai kuliah. Lagipula nanti teman Asep juga akan mampir untuk makan siang,” ujar Ibu.
“Siapa?”
“Bram.”
“Hah?”
“Iya, katanya sekarang dia jadi seniman lho, Yuk. Bapak bilang Bram mampu bikin kaligrafi yang indah.”
Aku diam saja, tak berkomentar apa pun menyahuti Ibu. Seperti apakah Bram sekarang? Masihkah usil seperti dulu. Duh, aku tak tahu tangannya tak hanya terampil menulis puisi, tetapi juga menggurat kuas.
“Bapak bilang Bram ke sini mau bawa lukisan. Ya, nanti Yayuk lihat saja,” kata Ibu enteng, tak menunggu tanggapanku.
Tepat pukul 12 siang, sosok yang dinanti-nantikan Ibu dan Bapak muncul. Bram datang mengendarai sepeda motor yang sangat berisik bunyinya. Ia mencangklong lembaran kanvas dengan pigura bikinan dari kayu. Rambutnya yang gondrong dan tak diikat tergerai ke belakang tertiup angin. Tingginya sedang dan ia terlihat kurus seperti kurang makan. Ia tersenyum begitu lebar kala melihatku, lalu turun dengan lincah setelah menurunkan standar motornya.
“Hai,” ujarnya menyapa.
“Kok tidak pakai helm?” aku bertanya.
“Dekat kok. Rumahku kan hanya dua gang dari sini.”
“Tapi kan lewat jalan raya.”
“Dekat ini,” ujarnya santai.
Tak lama kakakku yang baru saja keluar dari kamarnya datang menyusul. Ia kaget melihat orang yang sedang ditunggu-tunggu itu sudah datang. Segera ditariknya tangan temannya itu masuk ke ruang dapur. Mereka melewatiku tanpa berkata apa-apa. Didorong rasa penasaran, aku lantas segera berjalan menyusul mereka.
Bram sedang menggelar lukisannya di lantai rumah. Seluruh anggota keluargaku tengah mengerubunginya, bagaikan semut mengerubungi gula. Satu lukisan berupa kaligrafi bertuliskan Allah dengan dasar warna hijau yang teduh dibukanya. Ada bunga dan rerumputan, sementara kaligrafinya sendiri berwarna putih perak, tampak digores dengan mantap. Bram berdiri, kemudian mengikat rambutnya. Ia mengambil sebuah benda yang masih ditutupi koran di dekat tembok, kemudian membukanya perlahan-lahan. Aku menarik napas melihatnya: kancil dan buaya. Seekor kancil berwarna cokelat muda tampak sedang berbicara dengan buaya berwarna abu-abu di pinggir sungai. Di belakangnya hutan yang luas dan rimbun. Satu kaki kancil sudah masuk ke dalam air, sementara mata sang kancil menunduk menatap buaya yang tampak ganas. Indah sekali. Menurutku lukisan ini lebih hidup dibanding kaligrafi sebelumnya.
“Bagus sekali,” ujarku memuji. “Di mana kakak belajar melukis?”
Bram hanya cengar-cengir. “Aku ini kan berbakat alami, Yuk. Aku belajar sendiri.”
Obrolan setelahnya hanyalah basa-basi antara laki-laki. Aku tak begitu mendengarkan bapak dan kakakku berbicara. Bersama Ibu, aku menunggu di dapur, sambil mengelus kucingku si Belang tiga warna yang sedang menyantap jatahnya. Bapak dan kakakku sudah makan siang duluan bersama tamu dan ia di depan sedang berbicara dengan suara keras. Ibu selalu mengajariku makan belakangan untuk menghormati tamu. Ia duduk dengan siaga di pintu dapur, bersiap jika Bapak berteriak minta dibawakan teh atau penganan lainnya. Wajahnya tampak biasa-biasa saja, sementara aku bosan dan lapar.
Akhirnya Bram pulang. Kedua lukisan itu diserahkan kepada keluarga kami dengan harga yang pantas. Aku mendengar suara mesin sepeda motornya meraung dari dapur, tempatku sedang mencuci piring. Kakakku tiba-tiba datang menjumpaiku. Ia menyerahkan secarik kertas sambil berkata singkat. “Untukmu.”
Aku membuka kertas itu. Kali ini bukan puisi, melainkan sebaris nomor handphone tertera. Kumasukkan kertas itu ke dalam saku celana, berharap Ibu dan Bapak tidak tahu apa-apa.
***
Sore itu Bram memboncengku ke alun-alun. Aku sempat protes ketika ia muncul tanpa perangkat keselamatan berkendara apa pun. Ia tak memakai helm seperti biasanya atau membawakan helm penumpang untukku. Yang lebih berbahaya, ia menyeberangi perlintasan kereta api saat bel peringatan tengah berbunyi. Bahkan yang lebih menyebalkan, ia hanya tertawa-tawa saat aku berteriak-teriak ketakutan saat ia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.
“Naik motor kok begini betul. Sport jantung,” kataku begitu turun.
“Oh ya, mana sini coba aku dengar suara jantungnya,” ujar Bram sambil merengkuh kepalaku dalam pelukannya.
“Wah, benar memang sport jantung.”
Jika saja saat itu aku berkaca, pastilah wajahku sudah tampak merah betul. Namun Bram tampak cuek dan tidak perduli. Aku segera mengelak dan melepaskan diri. Malu benar rasanya dilihat oleh orang yang ramai berkumpul di alun-alun. Bram tersenyum dan menggandeng tanganku. Kami hendak menonton pertunjukan wayang. Dalangnya cukup terkenal seantero kabupaten. Kali ini lakonnya tentang putri Drupadi, istri para ksatria Pandawa, yang sedang dipermalukan Duryodana dalam pertandingan catur. Duryodana menyuruh Dursasana, adiknya, untuk menarik jubah Drupadi. Sebabnya, Yudhistira telah kalah dalam pertandingan dan mempertaruhkan Drupadi. Namun pertolongan datang dari Krisna, sehingga Drupadi tetap selamat kehormatannya.
“Kalau kau jadi istriku, tak akan kubiarkan Yayuk mengalami nasib seperti Drupadi,” ujar Bram tiba-tiba. Entah apa yang membuat dia mengeluarkan pernyataan itu.
“Gombal ah. Lagipula, siapa bilang aku mau jadi istrimu?” ujarku mengelak.
“Lhoh, tidak mau ya? Aneh, soalnya banyak gadis-gadis yang naksir sama aku, lho.”
“Masak sih?” ujarku sambil berdiri.
Pertunjukan baru saja usai. Orang-orang mulai bersiap kembali pulang. Koran-koran bekas alas duduk tercecer di mana-mana. Aku mengambil dua buah lembaran yang tadi kami gunakan, lalu melipatnya kembali. Sampah seharusnya dibuang setelah tidak dipakai, bukan malah dibiarkan tercecer. Seharusnya orang-orang bisa belajar bertanggung jawab dari hal sekecil ini.
Bram mengibaskan anak rambut yang menutupi keningku. Aku memandangnya sekilas, lalu berjalan menuju parkiran motor. Ia dengan sigap menjejeri langkahku. Daun-daun dari pohon sengon berguguran saat kami lewat di bawahnya. Semburat berwarna oranye tampak di langit barat. Matahari bersiap kembali ke peraduannya. Ia akan terlelap sebentar dan membiarkan bumi diselimuti malam sebelum akhirnya kembali bertugas keesokan harinya.
***
Bapak menampakkan wajah tidak suka begitu aku bangun keesokan harinya. Tetapi ini tidak jelas betul apa musababnya. Pertama, bisa jadi ia berang karena aku menonton lakon wayang yang menurut dia tidak Islami. “Tidak sesuai dengan harkat Bapak yang kiyai,” ucap Ibu. Atau kedua, ia keberatan aku berboncengan dengan lelaki. Yang mana pun membuat aku merasa perlu menjelaskan duduk persoalannya kepada Ibu dan Bapak.
“Bram akan ke sini nanti siang, Bu. Nanti Ibu tanyalah sama dia,” ujarku kepada Ibu yang sedang merangkai biji berwarna-warni menjadi sebentuk tempat tisu.
Tangan Ibu tak bisa diam untuk berbuat sesuatu bagi keluarganya. Rumah ini adalah lahan kerjanya. Di setiap sudutnya nyata jejak kehangatan Ibu. Lukisan sulaman karyanya terpajang di dinding. Belum lagi prakarya berupa bunga-bungaan yang menghiasi sudut rumah. Ibu mengangguk mendengar ucapanku. Ia suka pada Bram. Aku tahu karena Ibu menghargai bakat seninya. Barangkali ia seperti menemukan sebagian dirinya dalam laki-laki itu.
Namun hingga matahari memenuhi janjinya pada bulan untuk memantulkan sinarnya di malam hari, Bram tidak muncul juga. Aku gelisah duduk di sudut memandangi detik demi detik pada jam di dinding. Sebaris rasa kecewa menyelusup di hati, apa aku sedang dipermainkan? Azan Magrib sudah usai. Aku buru-buru melangkah ke kamar mandi untuk mengambil wudu. Aku ingin menyembunyikan air mata yang hendak tumpah di pipi dari Ibu.
Namun sebuah kabar akhirnya datang sebagai kepastian, seperti malam yang pasti datang sesudah siang. “Bram tidak bisa datang karena tertabrak kereta di perlintasan pasar kabupaten, Yuk,” ujar Bapak sambil menepuk bahuku.
“Apa? Bagaimana? Kok bisa?”
“Ia menerobos palang pintu perlintasan dan tidak melihat ada kereta yang datang dari arah berlawanan.”
“Lalu, Pak?”
“Tadi jemaah di masjid yang memberi tahu. Besok pagi jenazahnya disalatkan.”
Seperti ada palu godam besar yang menindih hatiku begitu pengertian akan kata-kata Bapak mencapai otakku. Kali ini air mata turun tak tertahan, membasuh semua ketidakberdayaan dan kehilangan. Ibu memelukku erat-erat dan menciumi ujung rambutku, sementara Bapak berlalu saat kabar yang dibawanya masih meninggalkan luka besar yang belum terbasuh.