Liputan6.com, Purwokerto - Ruangan itu lebih mirip dapur. Ada panci, penggorengan, dan alat dapur lainnya. Namun dalam ruang itu terdapat kanvas, cat minyak, dan kuas lukis.
"Ini memang dapur tempat saya melukis," ucap Zen Ahmad, 40 tahun, pelukis naturalis dari Desa Sokaraja Tengah, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu (27/2//2016).
Sokaraja, selain terkenal dengan getuk goreng dan soto, juga 'pernah' sangat terkenal dengan karya lukisannya. Banyak orang menyebut lukisan Sokaraja dengan Mooi Indie atau Hindia Molek.
"Saya lebih suka menyebutnya etnik Sokaraja," kata Sugeng Wibowo, 63 tahun, pelukis Sokaraja Tengah.
Sugeng yang sudah mulai melukis sejak 1973 ini, merupakan generasi ketiga dari sejarah perkembangan lukisan Sokaraja. Ayahnya, Ahmad Sarbini Biis, semasa masih hidup merupakan generasi kedua pelukis Sokaraja.
Baca Juga
Advertisement
Ia mengaku tidak paham betul, kapan lukisan Sokaraja mulai ada. Yang jelas, kata dia, lukisan Sokaraja mulai berkembang sejak Indonesia baru saja lahir.
Lukisan Sokaraja mudah dikenali. Sugeng mengatakan, lukisan Sokaraja mempunyai ciri khas yang tidak dimiliki gaya lukisan dari daerah lain. Pada dasarnya, lukisan Sokaraja mempunyai warna yang ngejreng atau tajam.
Naturalis
Lukisan juga selalu bertema pemandangan alam. Ada gunung, sawah, air terjun, hutan, dan pantai. "Kadang-kadang ditambahi binatang kijang," ujar Zen.
Ciri khas lainnya, dalam satu bingkai lukisan, biasanya ada sebuah pohon besar yang mendominasi ruang lukisan. Ia juga menyebut soal warna hijau yang cenderung dominan dalam setiap lukisan.
Masih menurut Zen, ada pakem yang selalu ada dalam lukisan etnik Sokaraja. Pakem tersebut yakni soal tiga bagian lukisan yang saling terkait satu sama lain.
Bagian pertama merupakan bagian paling jauh, biasanya digambarkan dengan gunung atau awan berarak. Pada bagian kedua, merupakan bagian tengah yang bisanya digambar air terjun, sungai, atau hutan. "Bagian paling depan biasanya pohon dengan sejumlah detail," urai Zen.
Baik Sugeng maupun Zen mengamini bahwa lukisan Sokaraja banyak terpengaruh karya lukis Basuki Abdulah. Dulunya, kata Zen, pelukis Sokaraja awalnya banyak yang mereproduksi lukisan Basuki Abdullah.
Lukisan reproduksi tersebut ternyata laku dijual. Lambat laun, mereka menciptakan karya sendiri hingga dikenal dengan lukisan etnik Sokaraja. "Lukisan Sokaraja ya pemandangan alam," urai Sugeng.
Sugeng mengatakan, kebanyakan pelukis Sokaraja mengandalkan hidupnya dari menjual lukisan yang dibuatnya. Dulu lukisan Sokaraja sempat mengalami zaman keemasan pada dekade 70-an.
Banyak kolektor dari Malaysia dan Singapura membeli lukisan Sokaraja untuk dijual kembali di negerinya. Puluhan galeri muncul pada masa itu. Namun, lambat laun peminat lukisan Sokaraja terus menurun.
Lukisan Rakyat
Menurut Sugeng, lukisan Sokaraja memang lebih banyak peminatnya dari kalangan menengah ke bawah. "Lukisan dari rakyat untuk rakyat."
Harga jualnya pun rata-rata bisa dijangkau oleh masyarakat kalangan menengah ke bawah. Ia bisa menjual lukisan mulai dari Rp 50-500 ribu, tergantung besar kecilnya lukisan.
Namun, suatu waktu ia juga pernah menjual lukisannya hingga Rp 20 juta. Dalam sebulan, rata-rata pelukis bisa menghasilkan 10 lukisan.
Sebagai sandaran hidup, Sugeng mengaku banyak karya lukisannya merupakan pesanan pasar. Namun, ia tetap mempertahankan pakem lukisan Sokaraja meskipun pasar sekarang telah bergeser ke gaya lukisan pop modern.
Sepinya pembeli juga diakui oleh Zen Ahmad. Ia mengatakan, pelukis Sokaraja membutuhkan pengetahuan lain tentang aliran lukisan.
"Sekarang mulai ada yang mencoba lukisan realis dan dekoratif," beber dia.
Jika tak seperti itu, imbuh Zen, Sokaraja yang dikenal sebagai kampung pelukis akan tinggal nama belaka. Selain itu, pelukis di Sokaraja juga saat ini sudah membentuk paguyuban pelukis. Anggotanya sekitar 20 pelukis. Sekitar 20 pelukis lagi belum masuk paguyuban ini.
Paguyuban Pelukis
Paguyuban yang diberi nama Kuas ini, mempunyai program kerja menyelenggarakan pameran lukisan setiap setahun sekali. Beberapa tahun lalu, mereka menyelenggarakan pameran lukis pertama dengan tajuk Sokaraja Mbigar.
"Kami upayakan pameran ini akan digelar setiap tahun," kata Zen yang tak lain koordinator paguyuban tersebut.
Baik Zen maupun Sugeng tak ingin lukisan etnik Sokaraja punah. Setidaknya, referensi anak-anak sekolah dasar yang menggambar pemandangan dengan dua gunung yang ditembus jalan setapak disertai sawah di kanan kiri jalan, akan tetap hidup.
Romantisme Syarif, 58 tahun, akan galeri lukisan Sokaraja kembali terkuak. Pemilik galeri lukisan Sanggar Keluarga itu ingat betul. Dulu, sekitar tahun 1970-1980, Jalan Raya Sokaraja penuh dengan lukisan karya pelukis Sokaraja.
"Ada sekitar dua puluhan galeri sepanjang jalan ini," ujar Syarif sambil menunjukkan Jalan Raya Sokaraja.
Saat ini, tinggal dua galeri yang tersisa. Selain galeri Sanggar Keluarga, ada juga HF Galery yang memajang lukisan Sokaraja.
Pada masa keemasannya dulu, di sepanjang jalan itu terpapar lukisan Sokaraja. Kolektor dari Malaysia, Singapura, dan daerah lain di Indonesia memburu lukisan Sokaraja di galeri jalanan ini. "Mereka biasa membeli hingga ratusan kodi untuk dijual kembali," ujar Syarif.
Saat ini, sambung Syarif, dalam sebulan paling banter 10 lukisan bisa terjual. Itu pun pada saat hari libur tiba. Harga yang ditawarkan pun relatif murah, antara Rp 50 ribu hingga Rp 500 ribu tergantung besar kecilnya lukisan.
Sugeng Wibowo, pelukis dari Sokaraja Tengah mengakui saat ini, Jalan Raya Sokaraja sudah berubah muka. Di kanan-kiri jalan, terhampar toko getuk goreng, Soto Sokaraja, dan Delaer Motor.
"Jalan ini pernah dijuluki galeri terpanjang se-Asia Tenggara," kata Sugeng, pelukis dari Sokaraja Tengah.
Ia berharap, pemerintah daerah membangun galeri khusus untuk lukisan Sokaraja.
"Kalau tidak, lukisan Sokaraja bisa punah," tutup Sugeng.
Advertisement