Liputan6.com, Jakarta - Waktu mendekati tengah malam. Hiruk pikuk Ibu Kota Stockholm sudah sirna. Diganti langit gelap yang makin pekat dan keheningan yang semakin sempurna.
Saat itu, Perdana Menteri Swedia Olof Palme baru saja keluar bioskop bersama istrinya. Olof Palme menghabiskan weekend bersama istri tercinta.
Palme dan istrinya, Lisbet memilih berjalan kaki di pusat Kota Stockholm untuk pulang ke rumah mereka dari bioskop. Keduanya berjalan bersama, berdampingan sambil bercanda gurau tanpa ditemani pengawal. Namun kebersamaan itu terenggut.
Dor dor..! Sejumlah peluru mendadak datang menyasar pasangan tersebut. Perdana Menteri ditembak hingga kemudian tewas. Istrinya pun juga jadi sasaran. Warga di sekitar berhamburan panik. Sebagian berlari menyelamatkan diri. Sebagian lagi mencoba membantu pimpinan negara mereka.
Sopir taksi di sekitar langsung menyalakan alarm untuk menarik perhatian agar aparat dan orang-orang di sekitar segera datang dan menolong Palme dan membawanya ke rumah sakit, meski usaha itu gagal. Olof Palme menghembuskan nafas terakhir.
Baca Juga
Advertisement
Sementara itu, sang istri tengah dalam kondisi kritis dan tengah ditangani tim dokter agar bisa selamat dari ancaman maut. Ibu Negara akhirnya berhasil diselamatkan.
Setelah melakukan penyelidikan dan pengejaran, polisi menangkap seorang pecandu narkoba Christer Pettersson yang didugat kuat sebagai pelaku. Pada Juli 1989, ia divonis hukuman penjara seumur hidup.
Namun kemudian, Pettersson dibebaskan karena terungkap fakta baru yang menyatakan bahwa ia tak bersalah. Pada 2004, Pettersson meninggal dunia. Ada laporan yang menyebut bahwa ia mengaku sebagai pelaku penembakan sebelum detik-detik menghembuskan nafas terakhir.
Hingga kini, penyelidikan atas penembakan terhadap Perdana Menteri Palme masih dilakukan. Dengan alat bukti baru berupa pistol revolver yang ditemukan di sebuah danau pada pada November 2006. Pistol tersebut diyakini dipakai untuk menembak Palme.
Belum diketahui pula, apa motif dari penembakan tersebut. Semasa hidupnya, Palme dikenal sebagai pemimpin sosialis yang terbuka dan demokratis, kendati dianggap sebagai pro-Soviet yang tidak disukai sejumlah pihak.
Sejarah lain mencatat, tanggal 28 Februari 1911, Syafruddin Prawiranegara, presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia ketika pemerintahan RI di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer II.
Dia merupakan presiden yang tak tercatat di daftar Presiden Indonesia dalam buku pelajaran sejarah.