Liputan6.com, Denpasar - Menjelang hari raya Nyepi yang jatuh pada 9 Maret 2016, seperti biasanya sejumlah warga di Bali mulai membuat patung raksasa berbahan kertas yang disebut Ogoh-ogoh.
Ogoh-ogoh dibuat untuk menggambarkan Bhutakala. Dalam ajaran Hindu, Bhutakala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan.
Dalam perwujudan patungnya, Bhutakala digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan. Ogoh-ogoh kemudian akan diarak keliling kota pada malam pengrupukan atau satu malam sebelum perayaan Nyepi.
Biasanya, ogoh-ogoh hanya dibuat dari bahan kertas, dengan anyaman bambu sebagai bahan kerangkanya. Ada juga yang menggunakan stereofoam. Untuk bisa diarak dan digerak-gerakan, maka dibuatkan kayu penyangga sebagai pegangan para pengarak untuk mengendalikan patung tersebut.
Namun, di Banjar Kaja, Jalan Waturenggong, Denpasar, seorang pemuda bernama Made Dwi Krisna berhasil membuat aplikasi yang dapat menggerakkan Ogoh-ogoh melalui fasilitas bluetooth yang bisa ada di smartphone.
Baca Juga
Advertisement
Krisna yang merupakan bagian dari kelompok pemuda STT Sharma Laksana, membuat Ogoh-ogoh Sang Buchari, yang terdiri dari empat Dewa, yakni Siwa, Dyah Marakresna, Sang Bajradaksa dan Sang Bajrangkara.
"Kalau Ogoh-ogoh bergerak sebenarnya sudah ada dan biasa. Tapi kami bisa buat yang berbeda, khususnya bagaimana bisa menggerakkan ogoh-ogoh dari jarak jauh," ujar Krisna ditemui di banjar Kaja Panjer, Denpasar, Sabtu (27/2/2016).
Mahasiswa Elektro Universitas Udayana ini melanjutkan, dengan bantuan bluetooth dan aplikasi yang dipasang di smartphone, ada enam gerakan yang bisa diatur, yakni gerak badan dan kepala (bersamaan), standby, kontrol total untuk semua bergerak sekaligus, standby tangan, gerak badan dan gerak kepala.
"Kita gunakan Arduino mega sebagai alat dan penyedia aplikasi. Smartphone android atau iOS sebagai transmitter yang dikoneksikan ke bluetooth yang kemudian diolah oleh Arduino sebagai receiver," terang Krisna.
Ogoh-ogoh Bluetooth ini, digarap sejak 5 Januari 2016 dan menghabiskan waktu selama dua bulan. "Baru rampung beberapa hari lalu dan sudah dinilai oleh Dinas Kebudayaan Kota Denpasar," tutur Krisna.
Sementara itu, Ketua STT Dharma Laksana, I Putu Gede Susantana menuturkan, total biaya yang dihabiskan untuk membuat ogoh-ogoh itu, menyebutnya sekitar Rp 14 juta.
Dana ini hasil swadaya masyarakat sekitar banjar. Biaya tersebut sudah termasuk rangkaian mesin untuk menggerakkan ogoh-ogoh.
"Kurang lebih Rp 14 juta. Cukup mahal untuk beli alatnya dan belinya di Jakarta. Kalau beli di Bali lebih mahal," ujar Susantana.