Liputan6.com, Padang - Jalan berliku di kaki Bukit Barisan merupakan salah satu jalur utama untuk menuju Desa Adat Sijunjung di Desa Koto Padang Ranah Dan Tanah Bato, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat.
Lamanya sekitar 4 jam perjalanan darat. Namun perasaan bosan di atas kendaraan terobati dengan miniatur Minangkabau yang dijejali rumah adat dengan pola 'bagonjong' di sepanjang jalan di Desa Adat Sijunjung.
Desa ini berjarak sekitar 110 kilometer dari pusat Kota Padang. Tidak terlalu sulit untuk menemukan Desa Adat Sijunjung yang belakangan namanya melejit di kalangan pencinta traveling.
Lokasinya hanya berjarak sekitar beberapa kilometer dari pusat kota, Muaro Sijunjung, yakni—sekitar 15 menit perjalanan dari kantor bupati Sijunjung.
Jembatan sepanjang 200 meter yang membentang di Batang Sukam menjadi pintu masuk ke Desa Adat Sijunjung. Patung perempuan berpakaian adat yang menjunjung bekal setinggi sekitar empat meter sebagai pertanda memasuki perkampungan adat.
Baca Juga
Advertisement
Bangunan tua bergaya 'Rumah Gadang' (rumah adat Minang) saling berhadap-hadapan mewarnai sepenggal jalan sepanjang satu kilometer. Sebagian masih terlihat rapi pasca polesan warna kekinian namun tetap mempertahankan gaya leluhur.
"Yang tak berubah adalah rumah adat. Meski mereka (penghuni) keluar dari kampung, tapi tak ada yang berniat atau pernah menghancurkan rumah adat," ujar pemuka adat setempat A Katib Rajo Endah.
Menurut Rajo Endah, Sijunjung pada awalnya berasal dari desa setempat --warga menyebutnya dengan Koto Tuo. "Di luar kampung ini belum banyak rumah."
Dilihat dari usia bangunan, bukan hal mustahil desa adat Sijunjung menjadi pusat kota pada zamannya. Posisinya juga strategis--berjarak sekitar 10 kilometer dari Kantor Bupati Sijunjung, saat ini.
Data pemerintah Sijunjung menunjukkan Nagari Sijunjung--tempat desa adat Sijunjung berdiri--diyakini sudah ada sejak abad XII.
Lalu bagaimana asal muasal patung perempuan berpakaian adat yang berdiri kokoh saat memasuki kampung. Apa hubungannya dengan patung perempuan yang berdiri di pertigaan jalan dan tepat berada di tengah-tengah perkampungan adat?
Rajo Endah menuturkan, patung perempuan tersebut dikenal dengan sebutan Puti Junjung.
Puti merupakan sebutan untuk seorang perempuan bangsawan di Minang atau lebih akrab disebut dengan 'putri'.
Cerita asal-usul kampung adat ini berlanjut dalam bahasa tutur secara turun temurun. Nama Sijunjung diambil dari hasil rapat yang digelar petinggi kampung.
Kebuntuan terkait nama terjawab saat suara perempuan minta tolong yang memecah keheningan. "Suara itu berasal dari tepi Sungai Mananti."
Tak satu pun yang mampu menyelamatkan perempuan yang terjepit dihimpitan batu. Perempuan ini dikenal dengan Si Niar, nama kebangsawanannya Puti Junjuang.
Hanya Syech Amaluddin berhasil membebaskan Puti Junjuang yang saat itu sedang terjepit.
"Peristiwa itu yang kemudian menjadikan Ninik Mamak (tokoh adat) sepakat menamakan daerah ini dengan Sijunjuang. Puti Junjuang itu yang dibuatkan patungnya," ujar dia.
Stagnan
Ada hal menggelitik yang membuat kami bertanya-tanya. Jumlah rumah adat di kampung ini seperti jalan di tempat, tidak mengenal kata pertumbuhan.
Seperti tidak ada pertumbuhan ekonomi di sana. Semua terasa bertahan melawan perkembangan era globalisasi.
Namun, kesimpulan saya terpatahkan saat menjumpai beberapa antena parabola mewarnai halaman rumah gadang.
Hingga kini, jumlah rumah adat di desa ini stagnan di angka 76. Angka ini bertahan sejak tahun 1950-an--lima tahun pasca Soerkano-Hatta membacakan teks Proklamasi di Lapangan Merdeka, ribuan kilometer dari Sijunjung.
"Tidak mudah memang untuk mendirikan rumah adat di Desa Adat. Harus ada persetujuan pangulu (penghulu) untuk menambahnya yang disepakati melalui rapat adat," ujar dia.
Pangulu adalah pimpinan dalam adat Minangkabau. Status Pangulu diberi gelar datuak dan berperan penting dalam memutuskan perkara kaum. Selain itu, dalam rumah gadang juga mesti ada monti (menteri) dan tungganai (penjaga kampung).
Ketiga pemimpin adat ini dikenal sebagai tungku tigo sajarangan. Ketiga pimpinan adat ini mesti hadir ketika rumah adat dibangun. Pangulu menjadi syarat wajib untuk membangun rumah adat baru di Desa Adat Sijunjung.
"Jika tak ada pangulu, maka rumah adat tak akan dibangun," ujar Rajo sembari mengingat selama ia hidup, baru satu rumah gadang yang bertambah.
Enam Suku
Desa Adat Sijunjung dihuni dihuni oleh enam suku: Chaniago, Piliang, Melayu, Tobo, Panai, dan Melayu Tak Timbago. Uniknya, meski berasal dari enam suku berbeda, tak ada yang membedakan rumah adat mereka.
Semua berjalan dengan demokrasi dengan konsep matrilineal, di mana kuam kerabat perempuan yang menghuni rumah adat.
Dari beberapa rumah yang sempat kami singgahi, rata-rata konsep bangunannya dibangun dalam bentuk persegi panjang dengan jumlah ruang dari empat hingga lima ruang.
Kondisi ini memudahkan kami untuk mengitung jumlah keluarga yang berada di sana karena biasanya, jumlah ruang menentukan jumlah keluarga dan satu ruangan khusus untuk pangulu.
Di sini, rumah adat dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan adat. Prosesi pernikahan menjadi kegiatan adat yang membawa kita kembali ke masa lalu.
Menurut cerita masyarakat setempat, prosesi awal pernikahan dilakukan di rumah adat ini--mulai dari meminang hingga akad nikah. Untuk pesta, bisa
dilakukan di luar rumah adat.
Kegiatan penyerahan siriah (sirih) dilakukan hari Senin. Tando (peletakan tanda atau pemberian cincin kawin) di hari Jumat. Pada prosesi ini, semua berkumpul di rumah adat. Prosesi sacral ini menjadi pemersatu masyarakat adat.