Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Mebel Kerajinan Indonesia (AMKRI) menilai sertifikasi legalitas kayu atau biasa dikenal dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) cukup dikenakan pada industri hulu saja. Pasalnya, jika dikenakan juga hilir maka akan mubazir.
Sekretaris Jenderal AMKRI Abdul Sobur mengatakan, jika pada hulunya sudah legal maka sudah pasti kayu di hilirnya juga legal. "Prinsip SVLK itu bagus, tapi dalam pelaksanaanya cukup di hulu saja karena substansinya ketika kayu legal di hulu maka di hilir sudah tak perlu lagi SVLK. Maksudnya agar tidak dua kali SVLK diberlakukan untuk kasus yang sama dari asal kayu yang dimaksud," ujarnya kepada Liputan6.com, Jakarta, Minggu (28/2/2016).
Apalagi, dia menuturkan, di beberapa negara ASEAN seperti Vietnam dan Malaysia tidak menerapkan aturan SVLK. "Artinya di Uni Eropa sendiri SVLK belum merupakan dokumen costum yang wajib sebab Vietnam tidak memakai SVLK. China, Malaysia dan lain-lain di ASEAN hanya Indonesia yang meminta. Ini dianggap persaingan tidak cerdas dalam konteks persaingan makro," ujarnya.
Abdul melanjutkan, untuk mendapatkan SVLK cukup berat bagi pelaku usaha karena membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dengan 5.000 anggota, maka asosiasi harus mengeluarkan sekitar Rp 200 miliar dengan perhitungan setiapSVLK Rp 40 juta.
Baca Juga
Advertisement
Menteri Perdagangan Thomas Lembong telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 89 tahun 2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Kehutanan. Dalam aturan tersebut dijelaskan kalau 15 pos tarif produk kehutanan sudah tidak lagi diwajibkan menggunakan SVLK.
"Ini sudah sesuai dengan semangat transparansi di mana bila buyers minta sifatnya voluntary, masing-masing membuat SVLK bukan lagi mandatori yang wajib bagi semua unit usaha," kata Abdul.
Sementara, Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) mengeluhkan konsistensi dari penerapan Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Direktur Eksekutif Apkindo Rubiyanto mengatakan, dengan keberadaan Permendag tersebut maka produk kayu tujuan ekspor yang awalnya wajib memenuhi standar SVLK kini tidak perlu lagi. Penghapusan kewajiban SVLK ini, khususnya untuk produk furnitur justru dikatakan membuat pengusaha kayu terancam rugi karena tidak bisa masuk pasar Eropa.
"Permendag Nomor 89 Tahun 2015 tentang ekspor produk kehutanan itu bisa merugikan pengusaha," ujar dia dalam keterangan tertulis.
Padahal, menurut dia, adanya SVLK membuat legalitas kayu jadi terjamin. Sehingga, pengusaha juga bisa dengan mudah masuk pasar Eropa yang selama ini ketat terkait dengan urusan kayu. Keberadaan Permendag 89 ini juga menghambat ekspor produk hasil hutan.
Rubiyanto mengungkapkan, dengan tidak ada pemberlakuan SVLK untuk produk furnitur membuat Uni Eropa menunda implementasi Voluntary Partnership Agreement Forest Law Enforcement Governance and Trade (VPA FLEGT).
Padahal, awalnya VPA FLEGT akan berlaku per 1 Januari. Namun karena penerbitan Permendag 89, VPA FLEGT diundur jadi per 1 April 2015.
"Tapi jika Permendag 89 tidak diubah, maka penetapannya akan mundur lagi. Kalau penerapan VPA FLEGT ini terus ditunda, maka pengusaha akan rugi karena harus membayar US$ 2.000-US$ 2.500 per invoince. Ini sangat memberatkan. Sekarang pemerintah tinggal pilih mau menyelamatkan duit kecil atau besar," tandas dia. (Amd/Gdn)