Liputan6.com, Jakarta - Kalijodo akan rata dengan tanah. Segala jejak kelam daerah yang dikenal lekat dengan aktivitas prostitusi dan perjudian itu bakal tinggal sejarah pada esok hari.
Pemprov DKI Jakarta hari ini, Senin (29/2/2016), benar-benar mengeksekusi daerah yang terbentang dari Jakarta Barat ke utara itu. Ini dilakukan setelah surat peringatan (SP) diberikan secara bertahap kepada warga Kalijodo.
Jauh sebelum hari ini, sejumlah cerita pernah jadi sejarah di sana. Baik kisah tentang Sari, Daeng Leang si Raja Judi, dan juga si Bedul.
Berikut kisahnya...
Penyekapan Sari dan 16 Gadis
Pahitnya Ibu Kota sudah dirasakan Sari yang kala itu berusia 22 tahun. Dari Cirebon, Jawa Barat, dia berakhir di Kalijodo, di antara Kali Angke dan Sungai Banjir Kanal.
Baca Juga
Advertisement
Hingga pada September 2001, dengan menahan sakit, dia melarikan diri dari sebuah bar di Jalan Kepanduan, kawasan Gang Kambing, Kalijodo, Jakarta Utara menuju Polsek Metro Penjaringan.
Itu adalah hari yang dinanti-nantikannya. Setelah berkali mencoba, Sari meraih kebebasan, berhasil melarikan diri dari Mami Sri dan centeng-centeng bertampang sangar yang selalu mengawasi gerak-geriknya.
Yang dialami Sari adalah kasus serius. Dia dan 16 temannya yang disekap di bar itu merupakan korban perdagangan orang.
"Saya ingin lari karena dibohongi, rasa sakit pada perut juga membuat semakin ingin melarikan diri dari Bar Cempaka," kata Sari seperti ditulis Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Krishna Murti dalam bukunya, Geger Kalijodo.
Saat menuliskan kisah Sari, Krishna masih menjabat Kapolsek Metro Penjaringan (2001-2004).
Sari dan kawan-kawannya datang dari berbagai daerah ke Jakarta untuk mencari pekerjaan sebagai asisten rumah tangga. Namun sesampainya di Ibu Kota, gadis-gadis asal Cirebon, Garut, Tasikmalaya itu malah bertemu para anggota sindikat perdagangan orang.
Di Stasiun Senen dan Terminal Kampung Rambutan para anggota sindikat itu membujuk mereka untuk membantu mencarikan pekerjaan. Jika para wanita tersebut menolak, mereka diancam bakal disekap di rumah-rumah kos milik pelaku.
Maka mereka pun terpaksa 'menjual diri' di Kalijodo.
"Setelah kami menelusuri kasus ini, ternyata para tersangka memang dijebak oleh kelompok sindikat. Dari pengakuan Sari yang dikuatkan keterangan kawan-kawannya setelah kami menggerebek bar tersebut," tutur Krishna.
"Mereka dipaksa untuk menjual diri, setelah sebelumnya datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga," sambung dia.
Tewasnya Si Raja Judi
Tak melulu tentang kisah cinta sesaat. Kalijodo di Penjaringan, Jakarta Utara, juga menyimpan cerita kelam lain dari lokalisasi judi yang dikuasai 2 kelompok di kawasan tersebut.
Seperti kisah Daeng Leang si Raja Taruh yang melegenda. Saat menuliskan kisah tersebut, Krishna menjabat Kapolsek Metro Penjaringan (2001-2004).
"Perjudian di Kalijodo semakin besar karena tempatnya yang terbuka," seperti ditulis Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Krishna Murti dalam bukunya, Geger Kalijodo, yang dikutip Liputan6.com.
"Banyak lorong-lorong dan gang sempit yang memudahkan para 'bandot' (bandar judi) dan petaruh lari jika ada penggerebekan polisi," kata dia.
Suatu malam pada 1993, terjadi perselisihan di sebuah rumah judi. Lokasinya hanya 200 meter dari rumah judi kelompok lawan milik Daeng Leang.
Krishna bercerita di rumah tersebut terjadi perang mulut antara para petaruh dan bandar judi. Hingga puncaknya, meja judi pun dibalikkan. Dan tiba-tiba terdengar suara pelatuk senapan.
Tembakan itu memicu rusuh. Kelompok judi Daeng Leang diduga sebagai pemicu konflik di rumah judi tersebut. Kedua kelompok pun saling lempar batu bata. Akibatnya sebanyak 7 rumah rusak.
Namun Daeng Leang bak menjemput ajalnya sendiri. Setelah bentrok reda, dia mendatangi rumah kelompok judi yang semula rusuh tersebut lantaran mengira situasi sudah aman.
Disebutkan, Leang tewas setelah ditusuk oleh anggota kelompok di rumah judi itu. Jenazahnya lantas diseret sejauh 20 meter dan lantas diceburkan ke kali.
Ada yang menyebut jika jasadnya muncul di permukaan air. Namun sebagian lain percaya, 'tubuh kaku' Leang tak pernah terlihat.
Advertisement
Kisah Si Bedul 'Daeng Azis'
Daeng Azis disebut-sebut sebagai pemimpin salah satu kelompok di Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara. Dia memiliki seratusan anak buah. Tugas mereka adalah mengamankan Kalijodo dan memastikan roda bisnis di tempat itu terus berputar.
Saat Operasi Pekat digelar beberapa waktu lalu oleh aparat gabungan, sebuah gudang miras dan sejumlah senjata didapatkan dari kafenya di Kalijodo. Kafe tersebut disebut-sebut sebagai yang termewah di sana.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Reskrimum) Polda Metro Jaya Komisaris Besar Krishna Murti pernah mengenal sosoknya, jauh sebelum pria itu kini dikenal masyarakat luar dengan sebutan Daeng Azis.
Pada tahun 2001, saat terjadi bentrok antaretnis di Kalijodo, Azis disebut-sebut sebagai orang yang menodongkan pistol ke arah Krishna. Krisna saat itu bertugas sebagai Kapolsek Penjaringan dan menyandang pangkat Ajun Komisaris Besar.
Daeng Azis saat itu dikenal sebagai orang yang memiliki lapak judi dan kafe.
"Jangan ada yang mendekat!" tulis Krishna menirukan gertakan Daeng Azis, dalam bukunya berjudul Geger Kalijodo. Buku karya Krishna tersebut menceritakan pola penyelesaian konflik antaretnis yang terjadi di kawasan perjudian dan prostitusi kala itu. Krishna menyebut Daeng Azis dalam karya ilmiahnya itu dengan nama si Bedul.
Dalam buku itu diceritakan saat Krishna berada tidak jauh dari lokasi tergeletaknya jasad yang merupakan adik Daeng Azis, Udin. Tiba-tiba saja Krishna mendengar 2 kali letusan.
Dia mengira letusan tersebut berasal dari pistol anak buahnya. Setelah dilihat ternyata Daeng Azis-lah yang menarik pelatuk pistol tersebut. Krishna meminta dia menyerahkan pistol tersebut namun malah berbalas gertakan.
Saat laras pistol Daeng Azis mengarah ke Krishna, suasana seketika tegang. "Jika pelatuk itu ditarik tamat juga riwayat saya. Kalau pun melawan dengan mencabut pistol, pasti ia lebih cepat menarik pelatuk," cerita Krishna.
"Saya ini Kapolsek. Jika kamu tembak saya, saya mati tidak masalah karena saya sedang bertugas demi bangsa dan negara. Namun, kalau saya mati Anda semua akan habis," ujar Krishna menatap tajam Daeng Azis.
Hal ini dibenarkan oleh Krishna. "Iya, si Bedul itu Daeng Azis, pernah saya tahan karena kasus kepemilikan senjata api," cerita Krishna kepada Liputan6.com.