Menkeu Ingin Ada Tax Amnesty Agar Tak Perlu Pangkas Belanja

Pemerintah masih menunggu proses pembahasan di DPR mengenai RUU Tax Amnesty.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 29 Feb 2016, 17:24 WIB
Menkeu, Bambang Brodjonegoro memberikan keterangan resmi terkait penerimaan pajak tahun 2015 di Direktorat Pajak, Jakarta Senin, (11/1). Total penerimaan pajak adalah 7.15% angka tersebut lebih meningkat di tahun 2014. (Liputan6.com/Faisal R Syam)

Liputan6.com, Jakarta - DPR dikabarkan menunda Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Tax Amnesty atau Pengampunan Pajak.

Padahal, tanpa kebijakan tersebut, penerimaan negara dari sektor pajak dipastikan semakin seret dan mengancam pemotongan belanja pemerintah.

Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, pemerintah masih menunggu proses pembahasan di DPR mengenai RUU Tax Amnesty.

Dia meyakini parlemen hanya menunda pengesahan RUU menjadi UU sebagai payung hukum pelaksanaan program pengampunan pajak yang ditaksir bisa mendatangkan penerimaan pajak hingga Rp 100 triliun di 2016.

"DPR tidak bilang menolak, paling menunda. Kita menunggu proses di DPR. Kita masih berharap sesegera mungkin ada tax amnesty, jika tidak kita harus potong belanja," ujar Bambang di kantornya, Jakarta, Senin (29/2/2016).


Dia mengatakan, bila tidak ada pengampunan pajak di tahun ini maka salah satu solusinya, dengan memangkas pengeluaran pemerintah sesuai kebutuhan. Ini dilakukan apabila sumber pendapatan dari sektor lainnya tak mampu mencukupi belanja negara yang mencapai nilai lebih dari Rp 2.000 triliun.

"Kok kayak takut gitu ada pemangkasan. Kalau memang dibutuhkan pemangkasan, kita lakukan utamanya belanja Kementerian/Lembaga (K/L), non K/L, itu yang biasa kita lakukan. Subsidi elpiji mungkin juga turun karena harganya turun," jelas Bambang tanpa menyebut jumlah anggaran yang bakal dipangkas.

Pemotongan anggaran merupakan jalan terbaik ketika pengeluaran lebih besar dibanding pendapatan negara yang masuk tanpa perlu menambah utang.

Hal ini dilakukan guna menjaga defisit anggaran tidak melebihi target 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Proyeksi di APBN 2016, defisit anggaran dipatok 2,15 persen dari PDB.

"Kita masih punya sisa kas tahun lalu sebesar Rp 20 triliun. Nah itu mau kita pakai untuk pembiayaan. Jadi kita bisa nambah defisit sampai Rp 20 triliun tanpa harus menambah utang," jelas Menkeu.

Namun demikian, Bambang bilang, pemerintah akan tetap mengajukan revisi APBN 2016 paling lambat Juli 2016. Target penerimaan pajak akan menjadi sasaran revisi meski dengan atau tanpa tax amnesty, selain asumsi makro lain seperti harga minyak dunia, kurs Rupiah.

"Logikanya bulan Juli, karena kita harus menunggu laporan semester I 2016. Kalau sebelumnya pengajuan APBN Perubahan di Juni, itu namanya APBN-P dipercepat. Revisi APBN juga tidak perlu nambah belanja, kecuali yang mendesak, misal pembebasan lahan, ASIAN Games tidak apa, tapi belanja-belanja dari awal tidak ada lagi," dia menuturkan.  

Berikut asumsi makro, penerimaan dan pembiayaan di APBN 2016, antara lain:

1. Pertumbuhan ekonomi 5,3 persen
2. Inflasi 4,7 persen
3. Tingkat bunga SPN rata-rata 5,5 persen
4. ICP US$ 50 per barel
5. Nilai tukar Rp 13.900 per dolar AS
6. Lifting minyak 830 ribu barel per hari
7. Lifting gas bumi 1.155 ribu barel setara minyak per hari
8. Pengangguran 5,2-5,5 persen
9. Angka Kemiskinan 9,0-10,0 persen
10.Gini rasio 0,39
11. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 70,1
12. Pendapatan negara dan hibah Rp 1.822,54 triliun
13. Penerimaan dalam negeri Rp 1.820,51 triliun
14. Penerimaan perpajakan Rp 1.546,66 triliun
15. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 273,85 triliun
16. Belanja negara Rp 2.095,72 triliun
17. Belanja pemerintah pusat Rp 1.325,55 triliun
18. Transfer ke daerah dan dana desa Rp 770,17 triliun
19. Defisit anggaran 2,15 persen dari Product Domestik Bruto (PDB) atau Rp 273,18 triliun. (Fik/Nrm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya