Pemerintah Siapkan Strategi Hadapi Pajak Sawit Prancis

Ekspor CPO Indonesia ke Prancis masih kecil. Tujuan utama ekspor CPO paling besar ke Belanda, Italia dan Spanyol.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 29 Feb 2016, 18:47 WIB
Ilustrasi CPO 1 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan strategi untuk menggagalkan upaya Prancis menerapkan pajak super tinggi kepada produk sawit mulai 2017. Pasalnya, Negara ini menjadi salah satu korban jika pemerintah Prancis memberlakukan kebijakan tersebut, mengingat Indonesia adalah produsen minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengungkapkan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sedang membahas strategi ini bersama Kementerian terkait. Sebab, dari sisi internal pun, produk maupun pengelolaan kelapa sawit Indonesia perlu mendapat perhatian untuk diperbaiki sebagai komoditas ekspor.

"Kami memang sedang membicarakan dan menyiapkan langkah-langkah di eksternal, seperti Prancis, Eropa dan lainnya. Tapi saya tidak mau menjelaskan dulu apa yang mau dilakukan, karena kita masih perlu memperbaiki standar pengelolaan kelapa sawit, dan lainnya," ucap Darmin diJakarta, Senin (29/2/2016).

Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit Bayu Krisnamurthi pernah mengatakan, Indonesia sedang terbelit masalah pajak progresif dari pemerintah Prancis. Itu karena ekspor CPO yang selama ini menjadi andalan Indonesia bakal terganggu dengan kebijakan pajak tersebut.

"Prancis akan menerapkan pajak super, karena pungutan secara berkala naik dari mulai 300 Euro per ton sampai 900 Euro per ton. Ini belum ada sejarahnya, makanya kita bilang super tax," tegas Bayu.

Terkait ini, pemerintah, asosiasi sampai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melakukan berbagai upaya mulai dari melayangkan surat, bertolak ke Prancis untuk bernegosiasi dan lobi agar pemerintah setempat membatalkan rencana pungutan pajak tinggi itu. 

Lebih jauh, Bayu mengatakan, penerapan pajak super ini tidak konsisten dengan Deklarasi Amsterdam yang diinisiasi Uni Eropa guna mendukung keberlanjutan CPO. Salah satu negara Uni Eropa yang menandatangani deklarasi tersebut adalah Prancis.

"Sudah tandatangan kok malah ngasih pajak super sebesar itu. Kalau memang ini disetujui, bisa disebut tindakan diskriminatif. Karena argumentasi teknis yang mereka ajukan, kita bisa bantah dan informasinya sama sekali tidak benar," terang Mantan Wakil Menteri Perdagangan itu.

Jika rencana ini benar terealisasi, tambah Bayu, justru akan merugikan pengusaha Prancis dan Eropa mengingat produk minyak sawit dari Indonesia dan negara produsen lain sangat berdampak positif bagi pelaku usaha di Eropa.

Dari catatannya, ekspor CPO Indonesia ke Prancis masih kecil. Tujuan utama ekspor CPO paling besar ke Belanda, Italia dan Spanyol. Namun Prancis membeli CPO Indonesia sebagian besar dari Belanda, karena kedua negara ini berbatasan langsung.

"Kita sangat konsen dengan hal-hal tersebut, karena ini menyangkut nasib petani dan kegiatan usaha produk sawit di RI. Kalau itu diterapkan, tidak fair buat kita. Tapi kita masih terus melobi sampai batas waktu 15 Maret 2016 supaya proposal pajak super tidak jadi diundangkan," dia menjelaskan.

Bayu menilai, pajak progresif diterapkan pemerintah sebuah negara karena kurangnya pemahaman dunia internasional terhadap sawit. Kebanyakan dari mereka, membayangkan hal-hal negatif terhadap asal muasal produk sawit dihasilkan, mulai dari penebangan pohon yang merusak lingkungan dan alasan lain.

Menurut dia, bukan hanya Prancis yang menjegal perdagangan kelapa sawit. Indikasi lain datang dari Rusia, Polandia, dan Republik Ceko dengan berbagai upaya ingin menghambat perdagangan sawit asal Indonesia dan negara lain.

"Sangat penting buat kita mempromosikan sawit secara objektif. Kita harus tunjukkan secara ilmiah bahwa sawit itu adalah a blessing to the world, anugerah bagi manusia, bukan musibah," kata Bayu. (Fik/Gdn)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya