Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Sukardi diperiksa penyidik pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus). Pemeriksaan terhadap Laksamana Sukardi sebagai tindaklanjut penyidikan kasus dugaan pelanggaran kontrak pembangunan apartemen Kempinsky dan Menara BCA di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.
"Saya dipanggil sebagai saksi. Selaku menteri pada saat itu," kata Sukardi saat memenuhi panggilannya di kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (1/3/2016).
Sukardi mengatakan hanya mengetahui tataran kebijakan yang diambil BUMN terkait pembangunan di kawasan Hotel Indonesia. Namun untuk urusan operasional dan proses pembangunan, ia mengaku tidak begitu tahu.
"Itu kan tataran operasional ya, tataran policy (kebijakan) yang saya tahu. Ya tataran policy kan normatif, sama syarat-syarat aja," ucap dia.
Baca Juga
Advertisement
Sukardi menduga, Kejagung ingin mengetahui syarat mengenai pembangunan tersebut. "Mungkin mereka ingin tahu syarat syaratnya. Sebagai mantan menteri BUMN, setiap ada masalah pasti diminta keterangan aja. Kalau prosedur biar jaksa aja ya, saya kan bukan penyelidik," tutur dia.
Kejaksaan Agung memastikan kasus dugaan pelanggaran kontrak pembangunan apartemen Kempinsky dan Menara BCA di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat sudah masuk ke ranah penyidikan. Pelanggaran kontrak pembangunan 2 gedung tersebut diduga dilakukan PT Grand Indonesia dan PT Cipta Karya Bumi Indah.
"Ini baru kita naikan ke penyidikan," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Arminsyah di kompleks Kejagung, Jakarta, Selasa 23 Februari 2016.
Arminsyah menjelaskan, pihaknya menemukan adanya indikasi tindak pidana pelanggaran perjanjian kontrak terkait pembangunan dua gedung tersebut. Atas pelanggaran kontrak yang dilakukan, Arminsyah menerangkan PT Hotel Indonesia Natour (HIN) milik BUMN merugi. Hal ini terkait dengan tidak adanya pembayaran uang sewa dan pembangunan atas 2 gedung yang dimaksud.
"Jadi 2 bangunan itu dibangun di luar perjanjian antara PT GI dan PT HIN. Artinya dari pembangunan itu, enggak ada pemasukan ke negara. Nah nanti dipidana dong," ucap dia.
Latar Belakang Kasus
Negara berpotensi rugi triliunan rupiah akibat murahnya sewa dan pelanggaran kontrak yang dilakukan oleh pengelola Hotel Indonesia dan pusat perbelanjaan Grand Indonesia yaitu PT Grand Indonesia, anak usaha PT Cipta Karya Bumi Indah.
PT Cipta Karya Bumi ditunjuk sebagai pengelola Hotel Indonesia sejak memenangi tender Build, Operate, Transfer (BOT) Hotel Indonesia pada 2002.
Kerja sama operasi pengelolaan Hotel Indonesia diteken PT HIN sebagai perwakilan pemerintah, dengan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI) dan PT Grand Indonesia pada 13 Mei 2004. PT Grand Indonesia dibentuk PT Cipta Karya Bumi untuk mengelola bisnis bersama Hotel Indonesia.
Komisaris PT Hotel Indonesia Natour (HIN), Michael Umbas mengaku ada beberapa fakta janggal yang didapatinya semenjak duduk sebagai Komisaris PT HIN pada November 2015.
Pada kontrak BOT yang diteken PT Hotel Indonesia Natour dengan PT Cipta Karya Bersama Indonesia (CKBI)/PT Grand Indonesia (GI), disepakati 4 objek fisik bangunan di atas tanah negara HGB yang diterbitkan atas nama PT GI yakni:
1. Hotel Bintang 5 (42.815 m2).
2. Pusat perbelanjaan I (80.000 m2).
3. Pusat perbelanjaan II (90.000 m2).
4. Fasilitas parkir (175.000 m2).
Namun, dalam berita acara penyelesaian pekerjaan tertanggal 11 Maret 2009, ternyata ada tambahan bangunan yakni gedung perkantoran Menara BCA dan apartemen Kempinski. Padahal, kedua bangunan ini tidak tercantum dalam perjanjian BOT dan belum diperhitungkan besaran kompensasi ke PT HIN.
Kondisi ini menyebabkan PT HIN kehilangan memperoleh kompensasi yang lebih besar dari penambahan 2 bangunan yang dikomersilkan tersebut.
Advertisement