Menkeu: Banyak Warga Super Kaya, tapi Rasio Pajak RI Rendah

Dirjen Pajak baru diminta meningkatkan rasio pajak (tax ratio) dari 11 persen menjadi 14 persen.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 01 Mar 2016, 18:08 WIB
Menkeu, Bambang Brodjonegoro memberikan keterangan resmi terkait penerimaan pajak tahun 2015 di Direktorat Pajak, Jakarta Senin, (11/1). Total penerimaan pajak adalah 7.15% angka tersebut lebih meningkat di tahun 2014. (Liputan6.com/Faisal R Syam)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro membebani Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak baru Ken Dwijugiasteadi dengan setumpuk tugas yang cukup berat.

Salah satunya meningkatkan rasio pajak (tax ratio) dari 11 persen menjadi 14 persen dengan mengoptimalkan penerimaan pajak dari wajib pajak orang pribadi (WP OP).

Bambang mengungkapkan, penerimaan pajak merupakan satu-satunya risiko fiskal terbesar saat ini ketika pengeluaran pemerintah untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) semakin kecil. Kini tantangan terberat Dirjen Pajak adalah dari sisi penerimaan yang datang dari pajak.

 


"Penerimaan pajak plus bea cukai tahun lalu 85 persen dari total pendapatan. Ini adalah beban sangat berat, karena tanpa ada penerimaan yang besar tidak akan ada belanja ekspansif dan diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi," ujar Bambang di kantornya, Jakarta, Selasa (1/3/2016).  

Terkait hal ini, kata dia, tugas dan tanggung jawab pegawai Ditjen Pajak di bawah kepemimpinan Ken Dwijugiasteadi harus memastikan anggaran negara terutama penerimaan pajak dapat berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Menurutnya, itu semua dilakukan pada akhirnya demi kesejahteraan masyarakat.

"Semua dituntut bekerja keras karena untuk negara sebesar Indonesia tax ratio 11 persen sangat di bawah standar ASEAN, apalagi OECD. Kita masih perlu mengupayakan tax ratio naik 2-3 persen menuju 13-14 persen, yang nantinya diterjemahkan dalam rupiah," kata Bambang.

Ia mengapresiasi prestasi Ditjen Pajak dalam sebuah pencapaian fenomenal hingga menembus Rp 1.000 triliun khusus untuk penerimaan pajak non-migas. Sayangnya rasio pajak masih 11 persen. Rasio pajak dapat ditingkatkan melalui upaya perbaikan penerimaan dari WP OP di tahun ini.

"WP OP jadi simbol terobosan penerimaan Ditjen Pajak di 2016. Kalau WP Badan, angka penerimaannya sudah signifikan meskipun belum 100 persen. Ruang perbaikan ada di WP OP yang masih jauh ketinggalan, karena rendahnya penerimaan pajak dari WP OP menunjukkan sistem pajak kita belum modern," tuturnya.

Bambang mencontohkan, di negara maju, penerimaan pajak sangat bergantung pada WP OP bukan WP Badan. Sehingga penerimaan pajak di negara tersebut tetap stabil. Hal ini berbeda dengan kondisi di Indonesia.

Sambungnya, pemerintah sangat mengandalkan penerimaan pajak dari WP Badan. Padahal setiap perusahaan tidak melulu mencetak keuntungan besar selama berdiri, pasti menghadapi siklus krisis, sehingga kondisi tersebut memengaruhi penerimaan pajak di Tanah Air.

Oleh sebab itu, Bambang meminta kepada Dirjen Pajak baru untuk mengimbau pejabat Eselon II dan III di lingkungan Ditjen Pajak untuk rajin meneliti dan meningkatkan kepatuhan pembayaran pajak dari WP OP karena keuntungannya penerimaan pajak akan lebih stabil.

"Realisasi penerimaan pajak dari WP OP di tahun lalu hanya Rp 9 triliun. Ini seolah-olah menunjukkan individu di Indonesia kebanyakan belum mampu. Padahal banyak individu di sini yang tergolong super kaya, kaya, setengah kaya dan seterusnya. Jadi perlu diperbaiki tingkat kepatuhannya," tandas Bambang. (Fik/Ndw)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya