Dinilai Tak Selesaikan Masalah PHK, DPR Kaji PP Pengupahan

DPR sedang melakukan evaluasi Peraturan Pemerintah (PP) 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 01 Mar 2016, 19:17 WIB
Seorang buruh mengecat tubuhnya sebagai sindiran saat perayaan hari buruh sedunia (May Day), SGBK, Jakarta, Jumat (1/5/2015). Mereka menuntut melawan kebijakan upah murah dan kenaikan upah setiap lima tahun sekali. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - DPR sedang melakukan evaluasi Peraturan Pemerintah (PP) 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Pasalnya, regulasi tersebut dianggap tidak bisa menyelesaikan masalah pemutusan hubungan kerja (PHK).

Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf mengatakan, DPR sendiri tidak menyetujui adanya PP 78 ‎tersebut. Dia bilang, karena masuk dalam paket kebijakan ekonomi maka PP 78 itu tidak dikonsultasikan dengan DPR.

"‎Pada dasarnya DPR nggak setuju PP 78, namun yang diminta paket kebijakan ekonomi tidak ada konsultasi DPR. Kalau konsultasi DPR pasti tolak itu. Tapi karena untuk menyelamatkan perlu paket kita beri kesempatan 6 bulan kita akan lakukan evaluasi, sekarang penolakan di mana-mana. Dan boleh dikatakan, tidak berdampak pada PHK, kami akan evaluasi," katanya, Jakarta, Selasa (1/3/2016).

 

‎Dia mengatakan, panitia kerja (panja) sedang menggali dan mencari masukan masyarakat terkait dengan PP 78 tersebut. Nantinya, DPR bakal mengusulkan ke pemerintah apakah regulasi itu dicabut, direvisi, atau meminta adanya PP baru.

"Semua poin kompilasi‎ tapi ada poin penting yang disampaikan presiden KSPI yakni mencabut hak negosiasi. Padahal di ILO (International Labour Organization) pasal 131 ada disebut hak negosiasi. Dengan PP ini itu dicabut seolah negosiasi hanya di KHL padahal bukan di situ," jelasnya.

Poin lain, masalah penetapan upah secara nasional. Menurutnya, pengupahan di nasional tidak bisa disamaratakan menimbang pertumbuhan ekonomi serta laju inflasinya berbeda-beda.

Lalu, struktur pengupahan juga mesti dibedakan dengan lama kerja serta produktivitas. "‎Rekomendasi nanti dikirim Menteri Tenaga Kerja (Menaker) jika perlu kita bawa sidang lebih tinggi, tapi kan belum pansus tapi panja," ujar Dede.

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Tenaga Kerja, Hayani Rumondang, mengatakan, dalam dua bulan (Januari-Februari 2016) terdapat 1.565 pekerja yang sudah di PHK.

‎"Kalau data PHK harus membedakan yang masih dalam proses, kalau proses nggak bisa disebut PHK.‎ Karena UU sudah menyatakan ketika dalam proses hak dan kewajiban masih jalan," katanya.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, banyaknya PHK karena pemerintah menerapkan formula upah yang tercantum pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tentang Pengupahan.

‎"Berarti tidak sesuai kembalikan hak berunding serikat buruh dengan perusahaan, karena penyebab tutup Toshiba Panasonic karena daya beli menurun. Kenapa? Upah murah," tukas dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya