Liputan6.com, Jakarta - Pemprov DKI Jakarta melalui Camat Penjaringan, Jakarta Utara mengirimkan surat peringatan bagi warga yang tinggal di kolong Tol Pluit-Tomang. Mereka diberi waktu 1x24 jam untuk membongkar bangunan semi permanen yang berdiri di bawah Tol Sediyatmo itu.
Seorang warga bernama Ma'ruf mengaku pasrah dengan kebijakan Pemprov DKI itu. Berbeda dengan kebanyakan warga lainnya yang menolak, Makruf lebih memilih legawa meninggalkan tempat tinggalnya itu.
"Nggak apa-apa, Mas. Sadar dirilah saya. Namanya numpang," ucap Ma'ruf lirih sambil mengemasi barangnya di Jalan Kepanduan 1, Pejagalan, Penjaringan, Jakarta Utara, Selasa 1 Maret 2016.
Baca Juga
Advertisement
Pria asal Magetan, Jawa Timur tersebut tampak sibuk membongkar sendiri bangunan semi permanen yang ia dirikan sejak 8 tahun lalu itu. Satu per satu papan triplek penutup rumah ia bongkar menggunakan perlengkapan seadanya.
Ma'ruf sehari-hari tinggal di rumah semi permanen berukuran 3x2 meter. Dinding rumah ditutup menggunakan triplek, sementara atapnya menggunakan asbes.
Pria paruh baya ini mengaku telah menempati kolong tol yang berada persis di seberang Kalijodo itu selama 10 tahun lebih. Dia sempat mengalami penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI pada 2006 lalu. Dan kini, dia kembali terkena penggusuran untuk yang kedua kalinya.
"Waktu itu saya masih jadi sopir truk. Iya pindah pas digusur dulu. Ngontrak saya di Jelambar," tutur Ma'ruf.
2 Tahun kemudian, Ma'ruf nekat kembali tinggal di kolong Tol Pluit-Tomang. Alasannya klise, biaya kontrakan dirasanya cukup mahal. Selain itu, Makruf juga ikut-ikutan warga lain yang mulai berbondong-bondong membangun kembali rumah di kolong Tol Sediyatmo.
"Tahun 2008 saya balik lagi ke sini. Yang lainnya balik lagi, ya saya ikut. Daripada ngontrak, kan boros bayar kontrakan," ucap dia sambil tersenyum.
Mantan sopir truk ini kini beralih profesi menjadi tukang ojek untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Meski berpenghasilan pas-pasan, Ma'ruf tak pernah lupa mengirimkan nafkah kepada anak dan istrinya di kampung.
Selain mengojek, Ma'ruf juga mengabdikan hidupnya menjadi guru ngaji di lingkungan tempat tinggalnya. Ma'ruf mengajar ngaji anak-anak di sebuah musala kecil yang dibangun warga di kolong tol.
Di tengah kesibukannya mengemas barang untuk dibawa pindah, sesekali dia menyinggung nasib musala tempatnya mengajar ngaji. "Kira-kira digusur juga nggak ya?" tanya Ma'ruf.
Meski berat, Ma'ruf mendukung kebijakan pemerintah menertibkan bangunan-bangunan liar di kolong tol tersebut. Dia bersedia kembali mengontrak meski harus mengeluarkan ongkos lebih mahal.
Ma'ruf juga tak terbesit niat menuntut Pemprov DKI menyediakan rusun untuknya. Sebab ia sadar, hidup di Jakarta hanya menumpang sebagai orang perantauan.
"Mau pindah ke daerah Angke, sudah dapat kontrakan. Nggak minta (rusun), sadar dirilah saya," pungkas Ma'ruf.