Keuntungan Jika Bangun Kilang Offshore di Blok Masela

Skema pengembangan blok Masela dengan kilang apung dinilai sesuai dengan konsep tol laut.

oleh Septian Deny diperbarui 03 Mar 2016, 10:15 WIB
Seorang melintas di depan layar peta usai pertemuan antara Menko Kemaritiman dan Sumberdaya Rizal Ramli dengan perwakilan masyarakat Maluku di Gedung BPPT, Jakarta, Rabu (7/10/2015). Pertemuan membahas Blok Masela. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Belum ada keputusan terkait pengembangan Blok Masela, di Tanimbar, Maluku diyakini akan membuat kontraktor hengkang. Hal ini patut disayangkan mengingat investor sudah memiliki keberpihakan yang jelas dalam pengembangan ekonomi kawasan di Tanimbar, Maluku dan daerah di Indonesia Timur.

Direktur Eksekutif Institute for Defense and Security Studies Connie R Bakrie mengungkapkan, sebagai salah satu lokasi yang strategis dalam poros maritim di bagian selatan Indonesia, seharusnya Tanimbar, Maluku mendapat perhatian dan keberpihakan dalam hal pengembangan ekonomi kawasan tersebut.

Namun akibat minimnya perhatian, Tanimbar saat ini tertinggal secara ekonomi, fisik infrastruktur, maupun rawan invasi negara lain.

"Wilayah Tanimbar, Maluku itu the forgotten island karena minimnya perhatian dan keberpihakan terhadap pengembangan ekonomi masyarakat di sana selama ini. Hanya karena Blok Masela, wilayah ini menjadi ramai dibicarakan. Harusnya pemerintah bersyukur karena dengan adanya investasi di blok ini, ekonomi masyarakat di sana akan bertumbuh," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (3/3/2016).

Connie menjelaskan, pengembangan Blok Masela dengan skema kilang apung (offshore) sangat menguntungkan negara dalam beberapa aspek. Dari sisi kedaulatan negara, karena Blok Masela merupakan aset vital negara dan pemerintah memiliki alasan untuk menempatkan armada militer untuk menjaga teritorial dan kedaulatan negara dari invasi asing.

Skema kilang apung ini juga sangat sesuai dengan konsep tol laut, karena akan memperkuat armada maritim nasional di kawasan garda depan selatan Indonesia. Kilang apung juga tidak mengganggu ekosistem dan kekayaan bio diversifikasi yang menjadi salah satu daya tarik pariwisata di daerah tersebut.

"Saya firm offshore karena skema kilang apung ini lebih memperhatikan pembangunan ekonomi yang holistik bagi masyarakat Maluku. Kilang apung hanya butuh 40 hektar (ha)–50 ha tanah, sedangkan kilang darat membutuhkan sekitar 500 ha-600 ha tanah, hampir sebagian pulau. Ini potensi konflik, belum lagi ancaman hilangnya budaya, potensi pariwisata, dan pengembangan matirim ke depan. Sayang kalau akhirnya investor hengkang karena persetujuan revisi POD blok ini terus tertunda," jelas dia.

Sebelumnya, salah satu hasil kajian yang dilakukan SKK Migas bekerja sama dengan beberapa lembaga dan perguruan tinggi menyebutkan, skema kilang apung memberikan kontribusi bagi sektor maritim dari sisi peningkatan galangan fabrikasi dan galangan kapal Indonesia.

Potensi daya angkut menjadi 8.000 ton dari kapasitas saat ini sebesar 1.100 ton, potensi panjang pelabuhan menjadi 500 meter dengan 17 meter draft, potensi kapasitas fabrikasi sebesar 86 kT dari 50 kT, serta peningkatan kapabilitas sumber daya galangan, penguatan dermaga, dan multiplier effect lainnya.

Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengatakan, pihaknya sudah mengadakan survei untuk meningkatkan pemanfaatan kandungan lokal dari proyek kilang terapung tersebut. Survei dilakukan tidak saja termasuk kemampuan maritim Indonesia, tetapi juga soal mempersiapkan tenaga kerja lokal dari Maluku untuk diikutsertakan dalam proyek ini.

Sementara itu Anggota DPR RI Komisi VII Inas N Zubir memaparkan Plant of Development (POD) sumur gas blok Masela sudah disetujui pada 2010. Pada saat itu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said sudah memilih skema Floating Liquefied Natural Gas (off shore).

Dirinya menilai memang sebaiknya Lapangan Gas yang ada di Maluku harus diputuskan melalui Kementerian teknis yakni Kementerian ESDM. Karena menurut Inas mereka sudah lebih paham baik dari pengkajian sampai pengelolaan. "Oleh karena itu diperlukan revisi POD dari Menteri ESDM," kata Inas. (Dny/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya