Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Jokowi – JK menegaskan bahwa program kelistrikan 35.000 Mega Watt (Mw) akan terus berjalan, bahkan pemerintah menargetkan proyek ini harus dapat terealisasi dalam waktu 5 tahun. Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, pemerintah terus mendorong percepatan pembangunan Energi Baru Terbarukan (EBT).
Menyikapi program pemerintah, Komisaris Utama PT Pat Petulai Energi, Dony Gouw, mengatakan masih ada beberapa masalah mengganjal yang membuat pembangunan menjadi terhambat.
“Masih banyak permasalahan, salah satunya adalah banyaknya peraturan yang bisa ditafsirkan berbeda-beda, dan juga adanya bentrok kepentingan antara pengembang, pemerintah dan PLN. Ini yang harus kita benahi bersama,” tutur Dony di Dirjen Ketenagalistrikan, Jakarta, Kamis (3/3/2016).
Dony mengatakan, seharusnya pemerintah bergerak lebih cepat terlebih lagi di era ekonomi yang sangat terbuka ini. Ia mengatakan Indonesia memiliki potensi EBT dalam jumlah sangat besar. Salah satu potensi besar yang ada adalah air, yang diyakini mampu mendorong percepatan proyek listrik raksasa ini.
Baca Juga
Advertisement
“Pemerintah harus gerak cepat untuk pembangunan ini, karena akan ada dampaknya pada Masyarakat Ekonomi ASEAN yang sangat terbuka. Indonesia mempunyai potensi EBT yang sangat besar, salah satu potensi besar dan sudah banyak dibangun di dalam negeri adalah menggunakan energi air," papar dia.
Ditambahkan Dony, banyak keuntungan yang didapatkan dari pemanfaatan air. Pertama, PLTA itu usianya bisa sangat panjang antara 50-100 tahun, kapasitas daya keluaran PLTA relatif besar, kemudian teknologinya bisa dikuasai dengan baik oleh Indonesia, dan yang tidak kalah penting juga adalah bebas emisi karbon.
Salah satu Peraturan Menteri yaitu Peraturan Menteri No 19 Tahun 2015 mengenai Pembelian Tenaga Listrik Dari Pembangkit Listrik Tenaga Air Dengan Kapasitas Sampai Dengan 10 MW (Sepuluh Megawatt) oleh PT Perusahaan Listrik Negara, harga jual listrik dari Independent Power Producer (IPP) kepada PLN untuk tahun 1-8 adalah US$ 12 cent dan US$ 7,5 cent untuk tahun selanjutnya sampai dengan tahun ke-20.
PLN sebagai eksekutor sampai dengan saat ini belum dapat mengeluarkan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL) dengan alasan belum adanya kejelasan subsidi dari Pemerintah, karena harga beli tersebut masih di atas dari harga jual mereka. Ditambah hal itu juga berdampak pada semakin berbelit-belit nya pengurusan awal syarat-syarat sebagai pengembang di PLN Wilayah.
Menyikapi hal ini, Direktur PT Klaai Dendan Lestari Yogi Adhi Satria memaparkan, pengembang memiliki ketertarikan untuk ikut berinvestasi dalam proyek listrik ini, akan tetapi ia melihat posisi pengembang terkesan 'digantungkan' walaupun mereka telah mengeluarkan banyak dana untuk pengembangan.
“Di sisi lain, pengembang tertarik untuk ikut berinvestasi untuk pembangkit EBT terutama PLTM itu karena harga beli yang dicantumkan dalam Permen Nomor 19 tahun 2015 tersebut. Namun, saat ini pengembang ada dalam posisi digantungkan. Padahal, sudah mengeluarkan investasi awal dalam jumlah besar untuk kepentingan studi, mengurus perizinan, dan akuisisi lahan,” ujar Yogi.
Yogi memandang, jika keadaan terus menerus seperti ini, maka akan menimbulkan kerugian bagi pengembang, dan tentu juga akan memperlambat program pemerintah yang ditargetkan rampung dalam 5 tahun ke depan.
“Tanpa adanya solusi dari pemerintah, hal ini tentu membawa dampak kerugian bagi pengembang, selain itu juga pasti berdampak buruk bagi pemerintah sendiri. Mega proyek ini berjalan lambat, padahal kita mengejar supaya proyek listrik ini bisa selesai sebelum periode pemerintahan Jokowi-JK berakhir,” imbuhnya. (Yas/Gdn)