Liputan6.com, Semarang - Jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Namun, penggunaan nama Sunan Kuning di Semarang sekarang cenderung kurang menghormati sejarah dan menggelisahkan banyak warga setempat.
Betapa tidak? Bila ada orang dari luar ibu kota Provinsi Jawa Tengah tersebut bertanya perihal Sunan Kuning, boleh jadi akan ditunjukkan sebuah tempat pelesiran berisi wanita-wanita muda penjual kehangatan.
Lokalisasi Sunan Kuning pun lebih populer dibanding nama resmi kawasan itu, resosialisasi Argorejo. Siapa sebenarnya sosok Sunan Kuning?
Adalah Remy Sylado, budayawan dan seniman yang lama menekuni riset di Semarang, yang menjelaskan duduk perkara ini. Seusai riset, pengarang novel sejarah ini menulis perihal Sunan Kuning dalam buku bertajuk 9 Oktober 1740: Drama Sejarah, dalam Catatan Seorang Tionghoa di Semarang, Liem Thian Joe.
Dalam buku tersebut ditegaskan bahwa Sunan Kuning adalah sebutan populer bagi Raden Mas Garendi. Sunan Kuning berasal dari kata Cun Ling (bangsawan tertinggi) yang merupakan salah satu tokoh sentral dalam peristiwa Geger Pacinan (1740-1743).
Baca Juga
Advertisement
Dalam Geger Pacinan 1740-1743, Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC, RM Daradjadi menyebut Raden Mas Garendi bersama Kapitan Sepanjang (Khe Panjang) dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) mengobarkan perlawanan terhadap VOC alias kongsi dagang Belanda di wilayah kekuasaan Mataram.
"Ini merupakan perlawanan yang disebut-disebut sebagai pemberontakan terbesar yang dihadapi VOC selama berkuasa di Nusantara," tulis Remy Sylado dalam bukunya tersebut.
Dengan menggunakan perspektif VOC, maka Sunan Kuning dan pengikutnya kemudian disebut pemberontak. Mereka yang membaur dalam pemberontakan Jawa-Tionghoa menobatkan Raden Mas Garendi sebagai raja Mataram bergelar Sunan Amangkurat V Senopati Ing Alaga Abdurahman Sayidin Panatagama pada 6 April 1742 di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Saat penobatan ini, Sunan Kuning yang merupakan cucu Amangkurat III ini sedang dibuang VOC dalam usia 16 tahun. Ada juga sumber lain yang menyebut usianya masih 12 tahun.
"Dia pun dianggap sebagai Raja Orang Jawa dan Tionghoa," tutur Remy Sylado yang bernama asli Japi Panda Abdiel Tambayong.
Simbol Perlawanan Rakyat
Sejatinya, pengangkatan Sunan Kuning adalah sebagai simbol perlawanan rakyat Mataram yang merasa dikhianati Pakubuwono II. Raja Mataram itu dianggap berkhianat dan bersekongkol dengan VOC.
Padahal, sebelumnya dia mendukung perlawanan Tionghoa-Jawa terhadap VOC. Dia meminta pengampunan VOC, karena orang-orang Tionghoa kalah perang, banyak pembesar Jawa tidak tertarik pada kebijakannya, dan bagian timur kerajaannya jatuh ke tangan Cakraningrat IV, raja Madura yang bersekutu dengan VOC.
Reputasi Sunan kuning dalam catatan perlawanan ketidakadilan, memuncak pada Juni 1742. Saat itu tentara dan loyalis Sunan Kuning memasuki Kartasura. Sebelumnya mereka bertempur dari Salatiga hingga Boyolali.
Kapitan Sepanjang yang bertugas di garis belakang sebagai pengawal Sunan Kuning, kini bertindak sebagai komandan tentara pendudukan. Pakubuwana II melarikan diri dari Kartasura, dievakuasi oleh Kapten Van Hohendorf ke arah timur Kartasura, menyeberangi Bengawan Solo ke Magetan.
Sejarawan Semarang Djawahir Muhammad menyebutkan bahwa peristiwa itu oleh orang Jawa ditandai dengan candrasengkala (penanda waktu) yang berbunyi "Pandito Enem Angoyog Jagad" atau brahmana muda mengakar di bumi.
"Sunan Kuning kemudian berkuasa di Kartasura. Terhitung mulai 1 Juli 1742," ucap Djawahir kepada Liputan6.com, Kamis (3/3/2016).
Sunan Kuning merencanakan menggempur pasukan VOC di Semarang. 1200 prajurit gabungan Jawa-Tionghoa dipimpin Raden Mas Said dan Singseh (Tan Sin Ko) menuju Welahan. Di Welahan mereka berperang dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Kapten Gerrit Mom. Namun pasukan Sunan Kuning justru terkepung dan dipukul mundur.
Berbagai kekalahan dialami pasukan gabungan Tionghoa-Jawa itu. Beberapa pimpinan terbunuh seperti Tan We Kie di Pulau Mandalika, lepas Pantai Jepara dan Singseh tertangkap di Lasem dan dieksekusi mati di sana.
Pada November 1742, Kartasura diserang dari tiga penjuru Cakraningrat IV dari arah Bengawan Solo, Pakubuwono II dari Ngawi, dan pasukan VOC dari Ungaran-Salatiga.
Sunan Kuning meninggalkan Kartasura dan mengungsi ke arah selatan bersama pasukan Tionghoa. Walaupun Kartasura telah jatuh, perlawanan terus berlangsung di berbagai tempat di wilayah Mataram.
Dalam buku Remy Sylado, yang bersumber riwayat Semarang ternyata Sunan Kuning dimakamkan di bagian barat kota, di atas sebuah bukit. Tepatnya di kawasan Kalibanteng Kulon, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, Jawa Tengah.
"Nah di sekitar makam Sunan Kuning itu, sejak paruh kedua dasawarsa 1960-an menjadi lokalisasi pelacuran," kata Djawahir menanggapi buku Remy.
Advertisement
Ahli Pengobatan
Sementara itu cerita berbeda datang dari juru kunci makam Sunan Kuning, Sutomo. Menurut dia, selain piawai ilmu agama, Sunan Kuning juga ahli pengobatan.
Awalnya, dalam pelariannya saat diburu pasukan VOC, Sunan Kuning menyamar sebagai tabib atau sinse. Saking banyaknya pasien yang disembuhkan, maka ia menetap di Semarang.
"Pengobatan selain dengan ramuan tanaman juga pasiennya diajak berzikir. Padahal waktu itu pasiennya kan kebanyakan Tionghoa yang bukan muslim," kata Sutomo kepada Liputan6.com, Kamis (3/3/2016).
Dari pengobatan sambil terus mengajak pasiennya masuk Islam inilah, nama Sunan Kuning masuk jajaran penyebar agama Islam. Bahkan ketika sudah meninggal, masih banyak para peziarah yang datang ke makam Sunan Kuning. Selain mencari berkah, mereka juga banyak mendoakan Sunan Kuning juga.
"Dulu zaman mbah saya, banyak yang ziarah dan keramaian itu dimanfaatkan wong ayu-ayu menjajakan diri," tutur Sutomo.
Mencoba mencari benang merah nama asli Sunan Kuning berdasar buku sejarawan Remy Sylado dan cerita juru kunci makam, Djawahir Muhammad menjelaskan bahwa sampai sekarang belum diketahui nama aslinya.
"Riset saudara Remy Sylado hanya menyebut Cun Ling (bangsawan tertinggi). Sementara cerita juru kunci menyebut langsung Sunan Kuning. Ini bisa dimengerti dan dilihat dari setting peristiwa," papar Djawahir.
Yang dimaksud Djawahir adalah, saat itu Sunan Kuning sedang dalam pelarian. Namun karena kulitnya putih dan menguasai ilmu agama Islam, maka lidah masyarakat Jawa kemudian menyebutnya Sunan Kuning. Penamaan sunan jelas sangat berhubungan dengan penyebaran agama Islam.
"Kaitannya dengan pergeseran menjadi pusat pelacuran, jelas sekali penjelasan juru kunci. Bahwa awalnya para PSK memanfaatkan keramaian para peziarah," ujar Djawahir.
Nah, Sunan Kuning ternyata tak seburuk penamaan yang diberikan masyarakat Semarang. Lantaran itulah, jangan menolak jika ada ajakan dari orang Semarang ke Sunan Kuning. Sebab, bisa saja bermaksud mengajak belajar sejarah dan ziarah ke makam Sunan Kuning.
*** Saksikan Live Gerhana Matahari Total, Rabu 9 Maret 2016 di Liputan6.com, SCTV dan Indosiar mulai pukul 06.00-09.00 WIB. Klik di sini.