Mengunjungi Fingertalk Cafe, Seluruh Pekerjanya Tunarungu

Bagaimana rasanya mengunjungi Fingertalk Cafe yang terletak di Pamulang, Tangerang Selatan?

oleh Aditya Eka Prawira diperbarui 04 Mar 2016, 16:00 WIB
Dissa berharap apa yang dikerjakannya saat ini melalui Fingertalk Cafe dapat membuka mata masyarakat luas dan tidak lagi memandang sebelah mata orang-orang dengan tuna rungu.

Liputan6.com, Jakarta Suara bocah laki-laki sedang mengaji terdengar dari sudut Fingertalk Cafe di Pamulang, Tangerang Selatan, Sabtu (20/2/2016) siang. Terdengar agak terbata-bata, mirip anak kecil di bawah umur lima tahun belajar huruf hijaiyah. "A-lif. Ba. Ta. Tsa," ucap bocah itu.

"Anak-anak itu dari komunitas Deaf. Mereka sudah sering ke sini," kata Dissa Syakina Ahdanisa. Ia adalah owner Fingertalk Cafe. Umurnya baru 25 tahun.

Sejumlah orang ketika mengunjungi kafe Finger Talk di Pamulang, Tangsel, Sabtu (20/2). Kafe ini setiap harinya buka mulai dari jam 10.00 pagi – 21.00 WIB. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Suasana kafe yang terletak di Jalan Pinang, Pamulang Timur, Tangerang Selatan, sedang tidak ramai. Kami jadi lebih bebas memilih meja dan bangku untuk diduduki. Tak lama seorang perempuan berambut hitam panjang menghampiri, menyerahkan buku berisi menu makanan dan minuman andalan kafe itu.

Rasa kikuk sempat muncul saat kami memesan makanan. Pelayan tidak mengerti apa yang kami sebutkan. Ia lalu menggeser tubuhnya ke samping kursi saya, mencari tahu menu yang diinginkan.

Kami lupa kalau siang itu sedang berada di kafe yang mempekerjakan orang-orang tuli atau tungarungu (deaf). Karena itu, butuh trik khusus agar mereka paham pesanan yang diinginkan.

"Sa-ya ma-u mi-num teh ta-rik," kurang lebih seperti itulah cara memesannya. Atau kalau mau sedikit bersusah payah, berkomunikasilah menggunakan tangan. Paduannya ada di masing-masing meja.

Pramusaji memperlihatkan buku bahasa isyarat di kafe Finger Talk di Pamulang, Tangsel, Sabtu (20/2). Berbagai menu yang dimasak oleh koki penyandang tunarangu itu disajikan tidak kalah hebat dengan kafe lainya. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Fingertalk Cafe ini mirip dengan kafe yang ada di Nikaragua, Amerika Latin. "Memang terinspirasi dari sana. Nama kafenya adalah De las Sonrisas. Saya tahu tempat itu ketika menjadi relawan di Nikaragua, mengajarkan bahasa Inggris anak-anak di sana. Ketika hari libur, saya keliling kota dan menemukan kafe itu," kata Dissa.

Pada 3 Mei 2015, Dissa membuka kafe dengan konsep serupa di Pamulang. Tempat itu menjadi kafe pertama di Indonesia yang mempekerjakan orang-orang tungarungu. Nama "Fingertalk", Dissa terinspirasi dari gaya berkomunikasi mereka.

"Teman-teman tunarungu ini komunikasi atau berbicaranya menggunakan jari (finger). Sekaligus menjadi jembatan antara pengunjung dan pelayan," kata Dissa kepada Health Liputan6.com.

Fakta yang ada di lapangan membuat Dissa semakin yakin untuk merintis usaha itu dengan merekrut orang-orang tunarungu.

"Karena saya melihat teman-teman deaf di Indonesia yang sulit mendapat pekerjaan. Mereka harus berkompetisi dengan teman-teman yang bisa mendengar," kata Dissa.

Dua orang pegawai berbincang dalam bahasa isyarat di kafe Finger Talk, Pamulang, Tangsel, Sabtu (20/2). Sang pemilik, Dissa, mendapatkan ide membangun kafe ini setelah melihat konsep yang sama di Nikaragua, Amerika. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Dengan mempekerjakan orang-orang tunarungu, orang-orang yang normal seperti dirinya jadi memiliki wadah belajar bahasa isyarat. "Karena, apakah bahasa isyarat itu sama semua?" ujar Dissa.

Dissa juga ingin membuktikan kepada masyarakat luas, orang-orang tunarungu tidak seperti yang mereka bayangkan, tidak bisa bekerja dan pemalas.

"Saya ingin memberikan kepedulian sosial kepada masyarakat luas, teman-teman deaf ketika diberi kesempatan bisa menghasilkan sesuatu yang sangat baik," kata Dissa. 

Fingertalk Cafe juga menyediakan tempat bagi orang-orang tunarungu memberi workshop dan hasilnya bisa dijual ke masyarakat luas. "Mereka bisa lebih independent secara finansial. Mandiri juga," kata Dissa.

Tantangan besar dihadapi Dissa saat akan mempekerjakan orang-orang tunarungu. Terutama dalam hal komunikasi. Sebab, rata-rata bahasa isyarat yang diajarkan di Indonesia adalah Bisindo (bahasa isyarat Indonesia). Sedangkan teman-teman deaf tersebut, belum tentu paham dengan Bisindo.

"Tantangan terbesar lainnya adalah bagaimana mengemas ini semua agar teman-teman di luar sana percaya, teman-teman deaf punya kemampuan," kata Dissa.

Pramusaji yang merupakan penyandang tunarungu menyajikan minuman kepada pelanggan di kafe Finger Talk, Pamulang, Tangsel, Sabtu (20/2). Dengan ramah dan cekatan, sejumlah penyandang tunarungu akan menjamu para pengunjung. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Karyawan di Fingertalk Cafe berjumlah empat orang. Keberadaan mereka berkat bantuan komunitas tunarungu di Indonesia. Bahkan, kokinya bernama Friska, berasal dari Bali. Friska jago memasak dan tak jarang Dissa mengajaknya berdiskusi tentang menu yang akan mereka jual.

"Menu favorit di sini, kalau yang saya suka adalah Tuna Lemon Sauce. Berjalannya waktu, banyak menu-menu baru hasil brainstroming. Ada mi goreng a la Fingertalk. Karena rasanya sangat Indonesia," kata Dissa.

Soal harga, semua menu yang ada di kafe tersebut bisa dibilang murah. Untuk makanan, dibanderol Rp 30 ribu - 35 ribu, sedangkan minuman berkisar Rp 15 ribu - 20 ribu.

Tak cuma menjual makanan, Fingertalk Cafe juga menyediakan tempat workshop membatik dan membuat tas serta baju seragam. Semuanya dikerjakan orang-orang tunarungu.

"Batik baru kita mulai dua-tiga minggu. Kita bertemu Mbak Ratih Nugrahini, yang suka sekali membatik. Dia pernah bekerja di museum tekstil. Tentu sangat berpengalaman," kata Dissa.

Deretan foto pengunjung yang pernah mendatangi kafe Finger Talk tertempel di salah satu sudut ruangan di Pamulang, Tangsel, Sabtu (20/2). Kafe berkonsep unik ini didirikan oleh Dissa Syakina Ahdanisa (25) sejak Mei 2015 lalu. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Biaya workshop adalah Rp 50 ribu. Uangnya tidak masuk kas perusahaan, melainkan untuk Ratih sendiri.

Dissa berharap apa yang dikerjakannya saat ini dapat membuka mata masyarakat luas dan tidak lagi memandang sebelah mata orang-orang dengan tuna rungu. Ke depan, ia akan membuka workshop komputer agar mereka memiliki kemampuan di bidang komputer sehingga dapat menjadi pekerja kantoran.

"Ingin buka cabang juga. Karena di luar sana masih banyak orang-orang tuna rungu yang mendapat tantangan ketika mencari kerja," pungkas Dissa.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya