Liputan6.com, Jakarta Kasus pembunuhan yang dilakukan orangtua terhadap anaknya sendiri miliki faktor dan latar belakang beragam.
Kejadian luar biasa seperti pembunuhan atau penyiksaan pada anak melibatkan adanya masalah yang terjadi pada mental atau jiwa para orangtua. Ayah ataupun ibu yang menyiksa bahkan membunuh anak mereka tak bisa dinyatakan secara singkat bahwa mereka mengalami gangguan jiwa.
Advertisement
Menurut Dr. Danardi Sosrosumihardjo SpKJ situasi orang yang sehat dan orang sakit (gangguan mental) menjadi perbedaan saat orangtua melakukan hal kejam ini.
"Orang sehat yang membunuh anaknya bisa saja berada di situasi dalam kekacauan dan perang, membela diri, dalam situasi kekesalan atau kemarahan yang memuncak - atau juga orangtua yang normal namun dalam tekanan yang tinggi," ungkapya saat dihubungi Health-Liputan6.com, Jumat (04/3/2016).
Pada orangtua yang miliki masalah terhadap kejiwaannya atau terbilang orang sakit pun miliki penyebab yang berbeda pula atas tindakan mereka terhadap anaknya.
Danardi memaparkan, pada kondisi orang sakit (jiwa) apabila seseorang memiliki karakter impulsif di mana perilaku manusia tiba-tiba berubah. "Bisa juga karena daya tahan yang kurang sehingga beban (yang relatif sedang dan berat) mengubah mereka menjadi impulsif," jelasnya.
Kemungkinan lain yang terjadi apabila orangtua berada pada gangguan jiwa berat kondisi tersebut terjadi pada kekacauan perilaku dan pola pikir.
"Gangguan psikotik berat ketika seseorang sudah alami halusinasi dan delusi yang menyerang pikiran," ungkapnya.
Danardi menjelaskan, halusinasi yang biasa terjadi saat peristiwa-peristiwa tersebut ketika seseorang alami halusinasi dengar, "Di mana adanya bisikan seperti menyuruh, mengomandokan, memerintah, `Bunuhlah dia`, `Bunuhlah anakmu` - dan delusi di mana pikiran orang yang tidak rasional, misal ia merasa menjadi tuhan atau nabi, atau pikiran kecurigaan yang sangat besar dan berlebihan (paranoid)," ungkapnya.
Pada kasus-kasus serupa, waktu visum untuk mengetahui apa yang terjadi pada diri si pembunuh berjangka satu minggu bahkan hingga 14x24 jam, tergantung kondisi kesehatan mereka.
Pemeriksaan terhadap mental dan fisik mereka dilakukan dengan wawancara serta menggunakan alat penunjang seperti MRA, rontgen, dan laboratorium.