Liputan6.com, Jakarta - Lebih baik sakit gigi daripada sakit hati. Begitu kata pepatah. Patah hati memang pengalaman dahsyat. Banyak orang bertingkah aneh, bahkan gila, saat luluh-lantak karena retaknya cinta. Tak terkecuali Sang Komandan Pasukan Serigala, Francesco Totti.
Jatuh cinta itu sejuta rasanya. Bahagia, berbunga-bunga, bak berada di langit ketujuh. Maka, jangan heran jika rata-rata kita sontak luluh-lantak saat cinta itu patah.
Baca Juga
- AS Roma Pesta Gol Atas Fiorentina
- Cuplikan Video Roma Menang Telak atas FIorentina
- Carlos Bacca Tidak Akan Tinggalkan Milan
Advertisement
Ada banyak cara orang mereaksi peristiwa sedahsyat itu. Tapi, umumnya, mempertontonkan kerapuhan kita sendiri. Susah makan, sulit tidur, banyak bengong, hilang fokus, mudah emosi, sangat sensitif.
Tapi, semua itu masih lebih bisa dipahami dibandingkan menolak move on. “Apa sih salahku sampai diputusin? Apa dia nggak inget masa-masa bahagia selama ini? Apa belum cukup yang kuberikan?”
Mempertanyakan, mempermasalahkan, dan – yang paling bahaya: berusaha mempertahankan dan memperjuangkan keindahan masa lalu yang belum tentu masih sama dengan realita hari ini.
Sudah sekian lama kita mengidentikkan AS Roma dengan sosok Francesco Totti. Fakta yang memang tak tersangkalkan. Lihat saja julukan media-media Italia padanya: Il Bimbo d'Oro (The Golden Boy), Il Re di Roma (The King of Rome), Er Pupone (The Big Baby), Il Gladiatore (The Gladiator).
Totti semakin istimewa karena menjadi sosok pemain langka yang mau bertahan di satu klub meski diminati banyak klub elite dengan iming-iming kompensasi selangit. Sejak umur 12 tahun, tepatnya tahun 1989, Totti perlahan membangun kerajaannya sendiri di Trigoria, markas tim serigala.
Perlahan dia tak hanya menjadi pemain bintang, tetapi sekaligus pilar, kapten, ruh tim. Memberi gelar Serie A bagi Roma pada tahun 2001, pemain dengan jumlah gol terbanyak kedua dalam sejarah Liga Italia (244 gol), 593 kali tampil di liga sebagai pemain ketiga dengan jumlah partai terbanyak.
Di luar lapangan, pesona Sang Pangeran tak kalah bersinar. Sport celebrity yang rajin terlibat charity, bintang iklan laris, public figure yang selalu disorot kemilau ketenaran.
Wajar jika Sang Penguasa Olimpico merasa dilecehkan dengan perlakuan Luciano Spalletti. Sejak Spalletti memegang kendali tim, sang kapten belum pernah menjadi starter, baru tampil 33 menit, dan hanya duduk di bangku cadangan dalam 4 pertandingan.
“Saya merasa fit untuk bermain!” tegas Totti pada wartawan usai hanya jadi cameo saat Roma kalah 0-2 dari Madrid. "Saya tidak bisa bertahan di Roma seperti ini. Saya paham kalau di usia ini saya bermain lebih sedikit, tapi mengakhiri karier seperti ini buruk untuk saya sebagai laki-laki dan apa yang sudah saya berikan untuk Roma. Saya menuntut respek lebih untuk semua yang sudah saya lakukan di sini!"
Totti Terusir dari Kerajaannya
Alih-alih gentar dan menuruti kemauan Totti, Spalletti justru bereaksi lebih keras. Setelah mendengar curhat Totti yang menjadi trending topic di televisi, dia batal menjalankan rencana menjadikan Totti starter melawan Palermo. Dia justru memulangkan sang kapten dari training camp, dicoret dari tim!
Totti “terusir” dari “kerajaannya” sendiri! Bukan hanya dalam pertandingan melawan Palermo, tetapi juga saat meladeni Empoli - yang keduanya berakhir gemilang bagi Roma tanpa magis Totti.
Totti mungkin terlambat menyadari bahwa dia bukan bintang segala bintang seperti dulu. Dulu, siapa pun yang berani melawan keinginannya, dipastikan bakal tersingkir. Sekarang, di saat Spalletti sedang menunjukkan kinerja bagus-bagusnya, justru Totti yang harus menelan ludah kekecewaan. Bahkan Presiden Roma yang tinggal di AS, James Pallotta, lebih membela Spalletti ketimbang Totti.
Sejak 30 Januari 2016 saat mulai melatih Roma, Spalletti mengembalikan timnya ke jalur yang benar. Enam kemenangan beruntun di Serie-A, posisi terdongkrak ke urutan 3, mulai berani berharap bisa bersaing dengan Napoli dan Juventus di puncak klasemen dan zona Liga Champions.
Untung Totti tak berlarut-larut patah hati. Menjelang big match versus Fiorentina, suasana diarahkan ke satu titik: Totti menerima jika tak lagi diistimewakan, Spalletti menegaskan legacy sang kapten dan akan memberinya waktu bermain lebih banyak, Pallotta siap memperpanjang kontrak icon roma itu.
Hasilnya, kemenangan ketujuh secara beruntun diraih atas Fiorentina, 4-1, ditandai masuknya Totti di menit 76 dengan applaus meriah. Cinta di Roma bersemi kembali usai prahara yang sempat diperkirakan bakal menghambat keganasan sang serigala Roma.
Persis seperti orang patah hati, Totti mungkin juga sempat merasa hancur saat Roma justru mulai mengaum ganas di saat kontribusinya dipinggirkan. Sakit. Sama sakitnya dengan Spalletti yang merasa dikhianati saat tengah menyiapkan treatment terbaik untuk kaptennya itu.
Cinta, sama dengan kontribusi untuk sebuah tim, tak pernah bisa dipaksakan. Cinta hanya bisa mekar jika ada kesepakatan dua pihak untuk membangun dan melestarikannya. Kontribusi bagi sebuah tim melulu karena sang pemain bagus dan dinilai oleh pelatih bisa mengisi kebutuhan tim.
Keduanya mustahil dibangun berdasarkan nostalgia masa lalu belaka, apalagi hanya mengandalkan simpati publik untuk mendesakkan kemauan.
Kita lihat seberapa jauh dendang cinta di Trigoria sanggup membawa AS Roma melambung dalam persaingan super ketat. Tengah pekan depan sudah menunggu Real Madrid di tengah jalan menuju kejayaan ajang Liga Champions. Kalah atau menang, Roma pasti lebih memilih menjalaninya dengan suasana cinta yang memenuhi Olimpico.
Mission impossible! But who knows..?
Kata orang, cinta bisa mengalahkan segala.
Maka bagi kita yang masih susah move on dengan cinta lama, cepatlah bangun dari tidur! Ganti dan isi nostalgia masa lalu dengan rasa baru. Rasanya semua akan menjadi lebih berat dijalani dengan luka menganga tergores cinta yang sudah tiada dan mustahil diadakan lagi...
- Sency, 4 Maret 2016, saat cinta tak selalu sama -
Advertisement