Grand Indonesia Bantah Rugikan Negara karena Pasang Sewa Murah

Kuasa Hukum Grand Indonesia membantah telah melanggar kerjasama sistem BOT senilai Rp 1,2 triliun

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 06 Mar 2016, 15:27 WIB
Sejumlah kendaraan melintas di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Jumat (1/1/2016). Usai perayaan pergantian tahun 2016, sejumlah ruas jalan protokol di Jakarta terlihat lengang. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Kisruh adanya indikasi kerugian negara Rp 1,2 triliun akibat sewa murah dan pelanggaran kontrak pengelola Hotel Indonesia dan pusat perbelanjaan Grand Indonesia, yaitu PT Grand Indonesia (GI), anak usaha PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI) terus berlanjut.

Kejanggalan ini ditemukan Komisaris PT Hotel Indonesia Natour (Persero) atau HIN, Michael Umbas dan melaporkan kasus tersebut kepada Menteri BUMN Rini Soemarno. Kasus ini pun telah ditelusuri Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Baca Juga

Menanggapi pengakuan tersebut, Kuasa hukum PT Grand Indonesia (GI), Juniver Girsang mengatakan, kerjasama dengan sistem membangun, mengelola, dan menyerahkan (built, operate, and transfer/BOT) antara PT HIN dan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI)-PT Grand Indonesia (GI) dilakukan berdasarkan perjanjian yang sah dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan.

Menurutnya, tidak sepatutnya perjanjian BOT antara para pihak yang merupakan domain perdata itu dipidanakan. Kerjasama BOT itu justru menguntungkan negara.

"Kami menghormati proses hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Namun, kami menganggap perkara ini merupakan domain perdata yang seharusnya tidak serta-merta menjadi perkara pidana. Ada baiknya Kejakgung bersikap adil dan proporsional dalam perkara ini," kata Juniver dalam keterangan resminya, Jakarta, Minggu (6/3/2016).

Juniver menegaskan, GI telah mengeluarkan total investasi Rp 5,5 triliun dalam proyek ini. Angka tersebut jauh lebih besar dari ketentuan yang tercantum dalam perjanjian BOT yang mensyaratkan nilai investasi penerima hak BOT sekurang-kurangnya Rp 1,2 triliun.

"Negara juga mendapatkan pemasukan dari kewajiban pembayaran pajak penghasilan dari pendapatan atas sewa yang perhitungannya adalah 10 persen dari total pendapatan GI," ucapnya.

Ia menceritakan, pada 2004, perjanjian BOT ditandatangani para pihak, usia Hotel Indonesia sudah di atas 30 tahun dan belum direnovasi total. Hal ini menyebabkan daya saingnya semakin rendah. Laba atau keuntungan pun tidak optimal.

Jika dilihat dari sisi kinerja keuangan, lanjutnya, selama kurun 1997-2002, Hotel Indonesia-Inna Wisata hanya mendapatkan pemasukan rata-rata Rp 2 miliar setahun. Sejak dilakukan kerjasama BOT itu, HIN mendapatkan penerimaan berupa kompensasi BOT sebesar Rp 134 miliar atau rata-rata Rp 10,3 miliar per tahun.

“Kompensasi ini lebih besar dari nilai manfaat tanah. Apalagi aset atau modal saham HIN tidak dilepaskan, dan HIN akan memperoleh kembali obyek BOT pada akhir masa kerja sama dalam kondisi layak operasional," paparnya.

Juniver mengklarifikasi adanya tuduhan GI melakukan penjualan unit apartemen Kempinski dengan sistem strata-title. Ia menegaskan bahwa GI melakukan penjualan unit Apartemen Kempinski dengan sistem sewa jangka panjang selama 30 tahun.

Di periode 2010, GI menyanggupi untuk melaksanakan opsi perpanjangan dengan membayar Rp 400 miliar secara tunai kepada Hotel Indonesia. Menurutnya, angka itu sudah di atas 25 persen dari NJOP tanah pada tahun tersebut yang sebesar Rp 385 miliar. Mengenai opsi perpanjangan itu juga dilakukan berdasarkan perjanjian BOT.

“Jadi GI selaku penerima BOT justru telah bertindak sebagai mitra strategis yang berperan serta dalam pelestarian kawasan Hotel Indonesia sebagai cagar budaya dan landmark Jakarta. Proyek pembangunan dan pengelolaan kawasan ini juga menyerap tenaga kerja yang jumlahnya mencapai 10 ribu orang," katanya.


Bantah Ada Korupsi yang Rugikan Negara

Juniver membantah terjadinya tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dalam pelaksanaan BOT. Menurutnya, kerjasama antara pihak HIN dan CKBI-GI yang dimulai pada 2004 itu telah melalui serangkaian proses formal yang sah dan transparan, serta dituangkan dalam perjanjian BOT yang ditandatangani oleh para pihak.

“Tudingan bahwa pelaksanaan BOT ini merugikan negara Rp 1,2 triliun akibat pembangunan Menara BCA dan apartemen Kempinski tidak benar. Justru, HIN diuntungkan secara komersial karena tidak kehilangan kompensasi yang lebih besar dengan adanya dua bangunan tersebut,” tegas dia.

Diakui Juniver, HIN juga diuntungkan karena nilai bangunan yang diserahkan pada akhir masa BOT nanti (2055) akan jauh lebih besar dari nilai seharusnya. Tanpa menambah masa konsesi penerima hak BOT dan tidak mengurangi besarnya kompensasi tahunan yang diterima HIN.

“Kerjasama ini justru merupakan wujud kemitraan strategis antara BUMN dan swasta yang didasari oleh itikad baik dan tidak merugikan keuangan negara,” terangnya.

Juniver menjelaskan, setelah dilakukan proses tender yang terbuka dan transparan pada 2004, diterbitkanlah persetujuan dari Menteri BUMN (saat itu) Laksamana Sukardi melalui Surat Nomor. S-247/MBU/2004 tanggal 11 Mei 2004 beserta lampirannya, perihal Persetujuan Perjanjian Kerjasama antara PT. HIN dan CKBI. Surat persetujuan inilah yang menjadi dasar bagi perjanjian BOT.

Lanjutnya, pengalihan pemegang BOT dari CKBI ke GI pun tidak dilakukan secara sepihak, karena merujuk pada surat persetujuan Menteri BUMN dan perjanjian BOT itu sendiri.

"Dalam perjanjian BOT disebutkan bahwa penerima hak BOT adalah GI dan/atau pihak-pihak lain yang ditunjuk secara tertulis oleh GI dan/atau penerusnya yang telah disetujui oleh HIN baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri," kata Juniver.

Terkait pembangunan gedung perkantoran Menara BCA dan apartemen Kempinski yang dianggap melanggar hukum karena tidak tercantum dalam perjanjian dan berpotensi merugikan keuangan negara, Juniver menjelaskan, anggapan itu keliru. Pasalnya, gedung perkantoran dan apartemen itu termasuk dalam kategori bangunan lainnya, seperti tercantum dalam perjanjian BOT.

"Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa gedung dan fasilitas penunjang adalah bangunan dan segala fasilitas pendukung yang wajib dibangun dan/atau direnovasi penerima hak BOT di atas tanah, yaitu pusat perbelanjaan, hotel, dan bangunan lainnya, berikut fasilitas parkir serta fasilitas penunjang lainnya," papar Juniver.

Juniver juga menegaskan, sampai saat ini, GI tidak pernah menjaminkan sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) atas nama HIN ke lembaga keuangan manapun untuk memperoleh pendanaan, karena sertifikat HPL itu berada dalam penguasaan HIN.

"Yang dapat dijaminkan oleh GI adalah sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama GI dan itu diperbolehkan dalam perjanjian BOT," kata Juniver. (Fik/Zul)

 

Saksikan Live Gerhana Matahari Total, Rabu 9 Maret 2016 di Liputan6.com, SCTV dan Indosiar Mulai Pukul 06.00 - 09.00 WIB. Klik di sini

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya