Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mencatat ada penurunan penerimaan bea cukai di periode Januari–Februari 2016. Penurunannya mencapai 64 persen, dari nilai tahun lalu sebesar Rp 22,5 triliun menjadi hanya Rp 8,1 triliun di tahun ini.
Kenaikan tarif cukai produk tembakau yang berlaku efektif 2016 berpengaruh pada penerimaan. Kenaikan tarif ini mendorong pabrikan memusatkan pemesanan pita cukai di akhir 2015.
Pengusaha rokok mengatakan, selama tiga tahun terakhir, industri tengah menyesuaikan diri dengan pemberlakuan cukai ini. Menurutnya, tak ada peningkatan volume berarti. Menurut data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, volume produksi rokok hanya naik kurang dari satu persen menjadi 348 miliar batang di tahun 2015.
Baca Juga
Advertisement
“Belum bisa diprediksi apakah kinerja industri akan mengalami perbaikan di tahun 2016 ini. Industri masih berusaha menyesuaikan dengan pemberlakuan kenaikan tarif cukai dan kenaikan tarif PPN Hasil Tembakau.” ungkap Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO), Muhaimin Moefti di Jakarta, Senin (7/3/2016).
Moefti melanjutkan, di tahun 2015, penerimaan cukai hasil tembakau mencapai Rp 139,5 triliun, setara dengan 9,4 persen realisasi penerimaan negara.
“Saat ini rokok menyumbang 96 persen dari pendapatan cukai, penting sekali untuk tidak terus menerus membebani IHT dengan berbagai pungutan lain, termasuk jangan ada kenaikan cukai di tengah tahun dengan alasan tidak terpenuhinya target cukai.” lanjutnya.
Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (GAPERO) Jawa Timur Sulami Bahar meminta agar pemerintah tak lagi membebani perusahaan dengan pajak dan cukai yang tinggi. Dia berharap pemerintah memberikan solusi pencegahan agar industri tak gulung tikar.
“Kenaikan cukai yang semakin tinggi sudah pasti akan berimbas pada PHK yang lebih besar. Sangat ironis, industri rokok yang sudah berkontribusi besar justru diperlakukan seperti ini, ”tegas Sulami.
Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) I Ketut Budiman, dengan menurunnya penerimaan cukai, itu berarti ada beban yang tengah ditanggung oleh produsen rokok. Dengan kenaikan cukai yang tinggi, pabrik rokok akan melakukan efisiensi. “Tentu ini akan mengorbankan industri dari hulu hingga hilir,” jelasnya ketika dihubungi wartawan.
Budiman mengaku, industri cengkeh di Indonesia sangat bergantung pada industri rokok. Pasalnya, hasil produksi cengkeh sebanyak 93 persen diperuntukan untuk industri rokok. “Jika produksi rokok terganggu, tentu kami pun akan terganggu,” jelasnya.
Anjloknya penerimaan bea cukai utamanya disebabkan oleh turunnya penerimaan cukai yang mayoritas berasal dari cukai hasil tembakau. Realisasi penerimaan cukai turun dari Rp 17,3 triliun menjadi hanya Rp 2,3 triliun.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi, menjelaskan bahwa kenaikan tarif cukai produk tembakau yang berlaku efektif 2016 berpengaruh pada penerimaan. Kenaikan tarif ini mendorong pabrikan memusatkan pemesanan pita cukai di akhir 2015.
Pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan No.20/PMK.04/2015 mengenai Penundaan Pembayaran Cukai Hasil Tembakau juga ikut andil. Aturan ini mengharuskan seluruh pita cukai yang dipesan pada tahun 2015 dilunasi paling lambat 31 Desember 2015, sehingga pembayaran yang seharusnya masuk di bulan Januari – Februari 2016 sudah dibukukan di Desember tahun lalu.