Liputan6.com, Maba - Peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Emanuel Sungging Mumpuni mengatakan, lembaganya bisa mengumpulkan data korona matahari. Menurut dia, data spektrum dikumpulkan selama 60 detik akan menjadi informasi yang bisa dipakai untuk menyibak misteri korona matahari.
"Data korona masih bercampur dengan kromosfer matahari. Tapi campuran ini nanti bisa dipisahkan," ujar Sungging di Padepokan Kota Maba, Maluku Utara, Rabu (9/3/2016).
Sungging mengatakan, teleskop dan kamera yang dia gunakan dapat merekam data korona. Data tersebut berupa pita cahaya yang diselingi garis gelap. Garis-garis gelap itulah yang nantinya akan dipakai untuk mempelajari komposisi korona matahari.
Baca Juga
Advertisement
Analisis data spektrum sendiri membutuhkan waktu untuk dibersihkan. Namun Sungging berharap bisa melaporkan analisis awal ini pada simposium internasional tentang bumi, matahari dan kehidupan yang diselenggarakan Lapan pada Mei mendatang.
Berbeda dengan Lapan, meskipun sama-sama mendapatkan gambar dan data gerhana matahari, NASA mengaku tidak puas dengan hasilnya. Sebab, gambar yang didapat tidak bersih, padahal menurut Lapan gambar tersebut masih bisa diolah.
Sementara itu, peneliti National Aeronautics and Space Administration (NASA) yang ikut meneliti bersama Lapan harus menanggung rasa kecewa lantaran gagal mendapatkan data.
Peneliti NASA Nelson Reginald menyebutkan teleskop dan kamera polarisator yang mereka gunakan tak bisa mengumpulkan informasi korona.
"Kami sama sekali tidak mendapatkan data. Kami butuh langit yang benar-benar bebas awan untuk bisa mendapatkan data," ujar Nelson.
Gerhana matahari total di Kota Maba terkendala awan mendung. Selama 3 jam proses gerhana, awan terus menggantung di atas langit. Cahaya korona matahari sendiri hanya bisa berpendar dari balik awan.
Nelson mengatakan NASA akan terus mengejar data korona matahari. Dia berencana akan mengejar gerhana matahari total berikutnya yang berlangsung di Amerika Serikat pada 2017.