Liputan6.com, Jakarta - Begitu dunia shifting ke era digital, demikian pula dengan industri game. Ada tiga perubahan besar yang bisa dirasakan dan sangat berpengaruh terhadap praktisi industri game, khususnya game developer dan game publisher:
1. Mobile era
Suksesnya smartphone di platform iOS dan Android mengubah segalanya, termasuk industri game.
2. Online game (web-based game) dan social game
Kita semua merasakan bahwa fenomena game di Facebook, sebut saja Zynga, di awal kemunculannya mengubah semua kebiasaan dan ikut andil mengedukasi orang bermain online game.
3. Distribusi digital
Pionir seperti Steam dan Appstore telah mengubah cara distribusi game, termasuk cara pembayaran yang memungkinkan akses langsung ke pengguna. Juga ada beberapa perubahan besar dalam industri game seiring dengan tiga poin yang sudah terjadi saat ini.
Banyak game beralih ke model freemium untuk mendapatkan hasil maksimal dengan melihat tren sukses dari banyak online game dan social game. Besarnya audience yang ada dengan sendirinya membentuk pasar dan pengguna baru, yaitu Casual Gamers.
Misteri pasar lokal di Indonesia
Sudah banyak game developer lokal dari Indonesia mencoba untuk meraih pasar lokal dengan beragam cara. Mulai dari memasukkan unsur lokal ke dalam game tersebut hingga game berbahasa Indonesia, bahkan terkadang dengan sisipan bahasa daerah tertentu.
Sampai saat ini memang belum ada game fenomenal yang mendapatkan atensi total dari gamers di Indonesia. Tercatat yang berhasil mendapat jumlah download terbanyak saat ini di Indonesia dengan konten lokal--yang juga merupakan developer lokal--adalah game “Tebak Gambar”.
Berbekal kemudahan untuk bermain, unsur lucu, dan tantangan untuk menebak, game ini berhasil menyedot perhatian lebih dari 5 juta orang di Indonesia.
Baca Juga
Advertisement
Pada suatu kesempatan ketika bertemu dengan sang developer, ada fakta cukup mengagetkan. Developer “Tebak Gambar” hanya terdiri dari dua orang. Bahkan keduanya tinggal di dua kota berbeda, yang berawal dari perkenalan di salah satu forum online terbesar di Indonesia.
Kemudian bisa kita lihat konten yang berasal dari luar Indonesia dan sukses di pasar global. Konten tersebut sangat cepat diserap dan menjadi tren di kalangan gamer lokal. Tidak sedikit para pengguna yang sudah melakukan pembelian virtual goods atau in-app purchase dalam jumlah yang tidak kecil.
Dengan fakta tersebut, kita tidak bisa mengatakan bahwa pasar lokal tidak mempunyai potensi dan selera cukup baik, seperti halnya “Duel Otak”. Game tersebut berhasil menjadi top game dan top paid (game berbayar) selama beberapa periode di dua raksasa platform yaitu iOS dan Android.
Namun alangkah mirisnya ketika mengetahui developer dari game tersebut bukanlah asli Indonesia, melainkan dari negara di Eropa sana. Berbekal lokalisasi (localization) dan digital campaign yang tepat, mereka berhasil menyita perhatian para gamers di tanah air.
Developer lokal
Dengan pemaparan di awal, jelas bahwa kesempatan saat ini terbuka lebar bagi para developer lokal untuk masuk ke kancah internasional. Yang menarik apabila kita telaah, tenaga ahli Indonesia tidak kalah baik dan mampu bersaing dengan pengembang luar.
Contoh konkretnya, salah satu pengembang game terbesar di Prancis membuka cabang kantor di kota Yogyakarta dengan sumber daya lokal. Di kota Bandung pun demikian. Ada startup dari Jepang yang sudah cukup sukses produknya membuka kantor cabang dengan tenaga ahli setempat.
Ada hal ironis lainnya yang terjadi sekian lama hingga saat ini. Teman-teman developer di Indonesia banyak mendapatkan pekerjaan dari berbagai negara, namun sebatas outsourcing atau service (jasa).
Mereka yakin pada developer lokal dan tidak sedikit yang berani membayar mahal akan jasa tersebut. Mereka percaya penuh dengan kualitas yang diusung para developer lokal ini.
Namun, intellectual properties tetap milik mereka, bukan menjadi milik developer. Di antara mereka juga banyak yang sudah mendapatkan hasil baik di pasar global, yang sebenarnya merupakan buatan tenaga ahli developer Indonesia.
Situasi tersebut memang selalu menjadi dilema sampai saat ini. Faktor yang paling menonjol adalah para developer harus bisa bertahan hidup dan mendapat income untuk operasional dan biaya lainnya seperti pengadaan hardware, software update dan lainnya.
Berbekal pengalaman yang dialami, bisa saja idealnya kita membagi dua divisi yang berbeda antara Service dan IP (intellectual properties). Namun memang tidak mudah untuk bisa menjalankan bersamaan di satu atap yang sama.
Konflik akan selalu terjadi karena dua divisi tersebut sangat berbeda dalam visi dan juga “working environment” yang terbentuk. Sangat tidak menyenangkan apabila rekan kerja di satu divisi dipenuhi dengan keceriaan ide dan semangat menciptakan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan rekan kerja divisi lainnya dalam tekanan timeline yang padat dan deadline yang selalu harus terjaga karena berhubungan dengan pihak ketiga.
Tantangan lain untuk developer adalah pendanaan. Banyak persepsi dari developer lokal bahwa pendanaan dari investor adalah tujuan utama atau merupakan satu-satunya jalan untuk mereka bisa lebih berkembang.
Namun banyak juga para developer yang enggan berhubungan dengan investor karena satu dan lain hal, seperti privasi kebebasan dalam perencanaan atau ide, juga rutinitas sistem yang harus diikuti sesuai standar investor tersebut.
Apabila kita lihat secara umum, banyak aplikasi game yang sukses di pasar global dan mereka merupakan developer independen tanpa investor. Pemahaman tentang perlunya pendanaan memang tidak ada di buku panduan yang baku dan jelas.
Namun ada baiknya kita telaah dengan teliti apa keperluan utama dan apa konsekuensi yang akan dihadapi, apabila kita mempunyai suatu produk yang diyakini.
Baik dari segi kualitas maupun nilai jual, sepertinya pendanaan akan bisa membantu untuk lebih mendorong campaign produk tersebut begitu siap dilempar ke pasar karena di benak investor umumnya hanyalah hasil akhir bisnis yang sehat dan baik untuk bisa terus mengucurkan dananya.
Publisher lokal
Seiring dengan era perubahan yang sudah dipaparkan, para game publisher juga wajib mengikuti irama perubahan tersebut. Mulai dari distribusi game, campaign, menjalankan event, monetisasi, lokalisasi, customer support, maintain komunitas, hingga cara pembayaran, semuanya harus menyesuaikan.
Kompetisi yang makin sengit praktis membuat para publisher memutar otak untuk mendapat cara efektif dan unik agar bisa menjangkau user seluas-luasnya. Untuk pasar sendiri, saat ini terbagi-bagi. Muncul pertanyaan apakah publisher akan berfokus di lokal, regional tertentu atau akan menuju kancah global yang pertarungannya sangat besar dan luas.
Selaras dengan perubahan besar di era digital, di antara para publisher lokal saat ini ada kecenderungan untuk bisa mengembangkan game besutannya sendiri. Terbukti banyak game publisher lokal saat ini bekerja sama dengan developer lokal untuk mengembangkan produk bersama.
Alasan utamanya antara lain karena keseharian publisher yang lebih akrab dengan data statistik tren game di pasaran dan juga mereka sudah mempunyai komunitas setia, sehingga lebih tepat bila game yang akan diluncurkan bisa sesuai dengan target demografi spesifik, termasuk pemilihan jenis game tersebut.
Adapun faktor lainnya adalah pendanaan. Untuk melakukan digital campaign yang baik, tidak sedikit dana yang harus dikeluarkan. Bagi sebagian besar developer lokal, ini merupakan suatu hambatan.
Membangun ekosistem developer dan publisher lokal
Sangat disayangkan memang keadaan saat ini bila developer dan publisher lokal menganggap satu sama lain sebagai kompetitor. Padahal sejatinya saat ini mereka masih harus bahu-membahu untuk lebih bisa menguasai pasar lokal dan tentunya global bersama-sama.
Belum saatnya satu sama lain menunjuk tangan sebagai kompetitor. Belum saatnya ada yang mengklaim menjadi yang terbaik dan terbesar. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan bersama-sama.
Begitu kita matang melihat jalan terbaik dan berhasil mendapatkan pasar yang luas, industri game lokal pun akan terangkat secara menyeluruh. Contohnya seperti geliat industri e-Commerce atau digital lainnya.
Mulailah dengan mencari partner yang saling membantu kekurangan masing-masing. Para developer bisa berfokus pada detail pengembangan game sebaik mungkin dari segala aspek dan bermitra dengan developer lainnya untuk bersinergi membuahkan karya yang baik.
Sementara publisher bisa berfokus pada bagaimana caranya melakukan campaign dan distribusi yang baik, sehingga terjalin ekosistem yang sehat demi kemajuan bersama. Developer tidak harus selalu identik dengan punya dana banyak, begitu pula dengan publisher.
Kesempatan itu ada dan bisa kita lakukan bersama. Satu quote dari penulis, “Dengan satu aplikasi kalian bisa mengguncang dunia”. Semangat!
Penulis adalah Ihsan A. Wahab, Board Director of GemuGemu (Game Publisher)