Liputan6.com, Jakarta - Revolusi mental sebagai program dari Presiden Joko Widodo alias Jokowi juga dijalankan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Sejumlah program revolusi mental bahkan telah diterapkan di lembaga pemasyarakatan atau lapas.
"Jadi gini, kalau untuk napi ya itu, program pembinaan dan itu sudah on going. Program (salat) 5 waktu, program pendidikan agama, dan program keterampilan," ucap Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly kepada Liputan6.com saat menggelar inspeksi mendadak atau sidak di Lapas Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (9/3/2016).
Sedangkan untuk pemberian remisi, Menkumham menjelaskan dengan adanya Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012, ada kemungkinan narapidana (napi) yang tidak akan mendapatkan remisi.
"Jadi kita pemberian remisi untuk yang dimungkinkan remisi, ada yang tidak dimungkinkan remisi dengan PP 99 harus mendapat JC (justice collaborator atau pembongkar kejahatan)," papar Yasonna.
Baca Juga
Advertisement
Yasonna menjelaskan, Kemenkumham akan membuat program unggulan latihan, kerja, dan produksi. "Makanya kita angkat dari subdit menjadi direktorat. Direktur yang baru ini saya sudah perintahkan menyusun program-program kerja produksi."
"Buat desain programnya, buat seperti apa? Berapa yang kita gunakan dari APBN? Kalau kurang, nanti saya akan mengundang pengusaha-pengusaha BUMN dan lain-lain," sambung Yasonna.
Dia juga mengatakan sekarang ini sudah ada BUMN yang membantu program-program Kemenkumham di lapas seperti BNI dan BI.
"Sekarang ini memang sudah ada yang bantu, yaitu BNI dan BI. Napi berkebun, beternak, craft seperti ini semua. Semua pertukangan, ada industri kita juga percetakan, pembuatan kaos, ada pembuatan furnitur dari seperti rotan tapi bukan, itu cakep banget. Itu harus kita tingkatkan terus," Yasonna menerangkan.
Jadi, lanjut dia, saat para napi keluar dari lapas mereka sudah harus punya keahlian agar mampu menghasilkan uang. Selain itu, para napi diharapkan pula tidak kembali lagi melakukan kejahatannya yang terdahulu.
Infrastruktur Jangka Pendek
Sementara untuk pembangunan infrastruktur jangka pendek, Yasonna mengaku sudah mengajukan anggaran. Namun karena keterbatasan anggaran, pada tahun ini Kemenkumham hanya akan menyediakan fasilitas penambahan ruang untuk 2.500 orang.
"Padahal, (napi) yang masuk itu tahun ini saja sudah 10.000 orang. Jadi itu yang saya katakan, masuk segini, keluar segini, kapan bisa berhentinya. Kalau hanya menambah-nambah, enggak bisa, uangnya enggak bisa. Itu pengalaman Amerika Serikat," papar Yasonna.
Dia mencontohkan AS yang program awalnya hanya sebanyak mungkin membangun lapas dan ternyata itu tidak menyelesaikan masalah.
"Amerika Serikat program awalnya bangun lapas bangun lapas, lama lama di mana-mana banyak lapas, enggak menyelesaikan masalah. Maka lahirlah program mereka restorative justice (penyelesaian masalah pidana di luar pengadilan). Kita harus belajar dari sana," beber Yasonna.
Restrorative justice itu, sambung Menkumham Yasonna, adalah bagi para napi yang hanya ditahan beberapa bulan saja tak perlu sampai dijebloskan ke dalam penjara.
"Konsep restorative justice itu yang berapa bulan aja jangan taruh di dalam, taruh di luar, dilihat jam kerja, jadi penyapu jalan. Suruh (napi) kerja di panti sosial, panti jompo, suruh kerja di mana-mana, suruh kerja di rumah sakit. Daripada kita masukin di lapas, jadi penjahat lagi kalau keluar karena campur dengan orang jahat," urai Yasonna.
Menurut Yasonna, konsep tersebut ada di RUU KUHP yang baru. "Paradigma harus diubah, cara melihat klien (napi) itu harus diubah, tidak semata-mata masukin ke lapas terus gojlokin, itu primitif, itu zaman-zaman 200 atau 300 tahun yang lalu."
"Sekarang ini sudah zaman beradab. Konsepnya reintegration rehabilitation, itu konsepnya karena crime is social product bukan biological product. Ini harus dipahami betul," ujar Menkumham Yasonna.