Liputan6.com, Jakarta Jika Undang-undang Larangan Minuman Beralkohol disetujui, sebuah penelitian memperingatkan akan terjadinya peningkatan konsumsi, kematian dan luka-luka akibat mengonsumsi alkohol ilegal. Tentu saja ini akan mengancam kesehatan masyarakat.
Korban terbaru yang diberitakan meninggal di Cirebon pada tanggal 10 Maret lalu menunjukkan bahwa kasus seperti akan sering muncul di kemudian hari jika penjualan dan konsumsi alkohol dilarang.
Data yang dikumpulkan oleh Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dalam penelitian tentang “Masalah Kesehatan dan Sosial Akibat Pelarangan Alkohol”, menurut laporan Kepolisian Daerah Jakarta di tahun 2014-2015, terjadi kenaikan 58 persen atas kasus alkohol ilegal, melalui siaran pers ditulis Jumat (11/3/2015)
Kenaikan ini bertepatan dengan dimulainya pelarangan penjualan bir di mini market, dan kenaikan 150 persen barang impor pada minuman beralkohol.
Baca Juga
Advertisement
“Jika DPR meloloskan RUU Larangan Minuman Beralkohol, produsen dan konsumen akan menggunakan jalur ilegal. Pelarangan juga akan memperkuat sindikat kriminal untuk memproduksi alkohol oplosan,” jelas peneliti CIPS, Rofi Uddarojat.
Rekomendasi dari penelitian ini adalah agar Dewan Perwakilan Rakyat menolak RUU. Riset dan data yang disediakan oleh pemerintah terbilang masih minim, dan meloloskan RUU ini akan menimbulkan risiko yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat, dan meningkatnya aktivitas kriminal.
Pemerintah seharusnya berkonsentrasi pada mengubah konsumsi alkohol ilegal ke alkohol legal dengan membuat regulasi mengenai alkohol dengan harga terjangkau dan tersedia di toko-toko.
Penelitian ini juga menekankan bahwa pelarangan alkohol bukan merupakan prioritas karena konsumsi alkohol di Indonesia tergolong sangat rendah dibanding negara lainnya. Konsumsi alkohol legal orang Indonesia hanya sebesar 0,1 liter per kapita, sedangkan konsumsi alkohol ilegal mencapai 0,5 liter per kapita.
Hingga saat ini, konsumen yang paling berisiko mengalami kematian dan luka-luka akibat keracunan alkohol adalah masyarakat berpenghasilan rendah karena tidak mampu membeli minuman beralkohol dengan pajak yang tinggi dan tidak tersedia di toko-toko kecil.
Syamsudin, seorang saksi mata korban alkohol oplosan, menceritakan bahwa para korban merasa tubuhnya seperti terbakar, dan tiba-tiba kehilangan kemampuan penglihatannya. Mereka meninggal sebelum berhasil dibawa ke rumah sakit. “Saya tidak bisa melupakan hari-hari yang mengerikan itu,” katanya.