Liputan6.com, Jakarta - Ahli Psikologi Forensik dari Universitas Indonesia Reza Indragiri Amriel mengatakan, pembuktian dalam persidangan kasus tuduhan pelecehan seksual terhadap 3 mantan murid TK di Jakarta Intercultural School (JIS), secara psikologi forensik tidak terdapat gejala kekerasan seksual.
Sebab, kata Reza, bukti yang terungkap dalam persidangan bukan bukti kekerasan seksual. Reza mengatakan demikian, setelah mencermati berkas-berkas persidangan kasus JIS. Hal itu untuk mengetahui pembuktian dugaan kekerasan seksual tersebut.
"Saya melihat berkas-berkas persidangan, dan pada berkas-berkas yang saya lihat tersebut, menurut saya, tidak ada bukti kekerasan seksual," kata Reza di Jakarta, Jumat (11/3/2016).
Korban kekerasan seksual, kata Reza, memiliki ciri-ciri tertentu. Tetapi karena ciri tersebut juga bisa muncul pada kekerasan non-seksual, maka perlu dipastikan, apakah disebabkan oleh kekerasan seksual atau kekerasan jenis lain.
"Nah, untuk mengetahui ada tidaknya dan tipe kekerasan yang dialami si anak, maka dilakukan pemeriksaan oleh kedokteran forensik. Pada berkas-berkas yang saya lihat, menurut saya tidak ada bukti kekerasan seksual," ucap dia.
Dengan demikian, Reza menegaskan, ciri atau gejala yang semula diyakini sebagai efek kekerasan seksual, bukanlah ciri atau gejala yang spesifik. Berdasar hal itu, dia tidak sependapat dengan vonis MA.
"Walau pun demikian, saya menghormati putusan hakim. Tinggal langkah PK (Peninjauan Kembali), bukti-bukti tambahan semoga lebih mengungkap kejadian yang sesungguhnya," kata Reza.
Kasus tuduhan pelecehan seksual di JIS telah menjerat 6 petugas kebersihan yang bekerja di JIS. Mereka adalah Virgiawan Amin, Agun Iskandar, Zainal Abidin, Syahrial, Azwar (Almarhum), dan Afrischa Setyani, yang dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap MAK.
Baca Juga
Advertisement
Selain itu, tuduhan tersebut juga dialami 2 guru JIS, yaitu Neil Bantleman dan Ferdinand Tjiong dengan korban MAK, DA, dan AL. Menurut orangtua pelapor, pelecehan tersebut terjadi sejak Desember 2013 hingga Maret 2014.
Tidak Terkena Penyakit
Sementara, saat menanggapi putusan MA sebelumnya, penasihat hukum 2 guru JIS Patra M Zen mengungkapkan, sekitar Oktober 2015, MAK dinyatakan tidak pernah terkena penyakit seksual menular dari sebuah klinik di Belgia.
Saat ini, lanjut Patra, pihaknya sedang berusaha meminta rekam medis tersebut ke Belgia, karena akan dijadikan novum atau bukti baru untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA).
"Informasi ini didapatkan dari jurnalis Kanada yang melakukan investigasi dan menemukan bukti pada Oktober, kalau tidak salah tahun 2015. Si anak diperiksa lagi di sana, hasilnya negatif dan ini sedang kita upayakan untuk mendapatkannya untuk bukti di PK," kata Patra beberapa waktu lalu.
Pada 24 Februari 2016 lalu, MA memutuskan menganulir putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang sebelumnya memutus bebas Neil dan Ferdi dengan pelapor orangtua dari MAK, DA, dan AL.
Menurut Majelis hakim MA yang dipimpin Artidjo Alkostar, ada penerapan hukum keliru dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, bahkan menambah hukuman menjadi 11 tahun kurungan.
Padahal, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sudah menilai pertimbangan majelis hakim PN Jaksel tidak tepat, karena berdasarkan keterangan korban yang masih di bawah umur dan keterangan saksi ahli.
Selain itu, terdapat sejumlah kejanggalan dalam perkara JIS. Di antaranya menyangkut hasil visum yang dijadikan dasar dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pun menganulir vonis 10 tahun Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Menurut Patra, sejak awal kasus JIS sangat janggal dan cenderung dipaksakan karena opini publik begitu besar, terhadap tuduhan pelecehan seksual di lingkungan sekolah.
Di antara kejanggalannya, Azwar meninggal dunia saat masih dalam proses penyidikan Polda Metro Jaya, dengan wajah ditemukan penuh lebam dan bibir pecah. Para penyidik diduga memaksakan pengakuan dari Virgiawan Amin, Agun Iskandar, Zainal Abidin, Syahrial dan Azwar (almarhum) selama dalam masa tahanan dengan tindak kekerasan.
Untuk kasus tuduhan terhadap 2 guru JIS, Neil Bantleman dan Ferdinand Tjiong, juga penuh kejanggalan. Karena keduanya merupakan guru SD dan tidak pernah bertemu dengan 3 anak yang mengaku korban tersebut.