Liputan6.com, Jakarta Kalau kau percaya pada takdir dan reinkarnasi, barangkali kisah ini tak aneh untukmu. Tapi kalau tidak, barangkali kau harus banyak-banyak membaca dan mendengar. Sebab, tentu saja kisah seperti itu selalu ada di belahan dunia mana pun setua usia bumi itu sendiri. Kalau kau tak percaya, baiklah artinya otakmu cupet.
Semuanya bermula pada suatu sore rintik-rintik setelah aku pulang dari tempatku mencari nafkah. Itu sesungguhnya sore yang biasa, tapi ujungnya tak seperti biasa. Sore itu istriku yang cantik tampak sedang duduk di teras rumah sambil mengelus seekor kucing. Kucing itu belang tiga, berwarna hitam, cokelat, dan kuning. Matanya berwarna kuning, hidungnya berwarna putih, dan mulutnya kecil mengatup. Kucing itu terlihat menarik, entah jantan atau betina. Ia tampak waspada begitu aku datang, menggoyangkan ekornya sebentar, lantas berjalan keluar dan melompat ke atas pagar tetangga.
Baca Juga
Advertisement
“Kucing dari mana itu?” tanyaku pada istriku.
“Entah. Mungkin hanya datang untuk meminta makan,” jawabnya sambil lalu.
Sebagai seorang pekerja rendahan di Kota L, bisa dikatakan posisiku tak cukup istimewa. Ya, mungkin kau memang akan menemui aku di belakang bosku, terbungkuk-bungkuk menyelesaikan segala urusan baik resmi maupun tidak resmi, di atas maupun di bawah meja. Mungkin kau akan mencibir aku, tapi hidup itu tak semudah membalikkan telapak tangan bukan?
Meski demikian, posisi itu memberikanku ruang yang agak lumayan. Untuk makan dan menyewa rumah, serta mengirimi adik-adik dan orang tua di kampung halaman. Namun aku harus bekerja keras, sebab kekayaan tidak ditakdirkan Tuhan ada di genggaman tangan keluargaku. Dulu aku agak iri dengan mereka yang sejak lahir tak perlu bersusah payah. Tapi kini aku sudah terbiasa berpeluh sebelum bisa menikmati hasil jerih payahku sendiri.
Sebenarnya aku bukan penduduk asli kota ini. Barangkali kau kaget kalau kukatakan aku dari Kota N. Betul, aku dulu seorang santri. Dan benar, aku santri yang sangat tradisional bila itu yang kau maksudkan. Aku biasanya pagi-pagi sudah bersarung dan tidur hanya dua jam semalaman. Lantas aku mengisi kajian, mengaji, membuka-buka kitab, kemudian melayani kyaiku dan keluarga. Mereka orang yang sangat dihormati, kau tahu. Dulu kyaiku penah dituduh korupsi lantaran membeli tanah yang luas sebagai bagian dari komplek pesantren. Tentu saja itu fitnah dan itu sangat keji. Kyaiku orang yang sangat lurus. Hanya dengan menjadi pengajar dan menulis ia sudah kebanjiran rejeki. Ia tak perlu berusaha terlalu payah, justru uang sendirilah yang berlomba-lomba datang kepadanya. Tuduhan itu akhirnya tak terbukti. Tak ada efek drastis yang terjadi di pesantren kami. Rumah mbah yai tetap ramai, pesantren tetap berkibar. Tuhan memang melindungi orang-orang yang berada di jalan yang lurus.
Hidupku sungguh-sungguh berubah sejak aku bertemu istriku. Ia orang yang bersemangat dan meledak-ledak. Seperti magnet, ia menarikku masuk ke dalam kehidupannya. Tak tahan berjauhan, aku langsung menyusulnya ke Kota L. Kami pun menikah. Waktu itu aku bahkan belum punya pekerjaan. Aku baru saja lulus setahun dari kampusku. Belum ada pegangan sama sekali. Tapi dengan harapan bisa terus menggenggam tangannya, aku nekad berangkat mengejarnya.
“Kenapa menikah dengan dia?” Pernah kudengar seorang tantenya menggugat keputusan istriku.
“Aku yang suka. Mau apa?” jawab istriku galak.
Ia kuat, baik, dan suka tertawa. Barangkali itu hal paling luar biasa yang bisa terjadi di dunia. Seorang malaikat sempurna yang dengannya aku tak penting hal lainnya. Seorang diri aku menyusulnya, mengganti jubahku agar tepat ia kenakan. Aku bertekad menjadikan ia matahariku, yang deminya aku rela melakukan apa saja.
Tapi kemudian matahariku kehilangan sinarnya dan meninggalkan aku dalam gelap.
***
Mulanya mungkin kedatangan kucing itu. Ah, atau bahkan dua tahun sebelum kucing belang tiga itu datang.
Istriku keguguran. Ini kehamilan pertama yang kami nanti-nantikan setelah menikah lima tahun. Aku ingat wajahnya sangat gembira tatkala ia mengacung-acungkan test pack ke hadapanku, tepat begitu aku membuka mata di hari Selasa.
“Aku hamil,” ujarnya sambil tersenyum lebar.
Aku memeluknya, lantas berteriak keras. Aku terlalu bahagia. Bahagia yang memenuhi dada dan mendesak keluar.
“Aku akan jadi ayah,” ucapku emosional.
“Ya, kau akan jadi ayah.”
Lalu air mata kami turun pagi itu.
Tapi ternyata kami terlalu cepat bahagia. Tiga bulan setelah Selasa itu, calon anak kami luruh setelah istriku mengeluh perutnya sakit semalaman.
Sendirian, jauh dari orang tua, dan tidak berpengalaman. Bertubi-tubi tuduhan hinggap ke muka kami. Menohok.
“Salah sendiri kenapa obat penguat dari dokter tak diminum,” kakak iparku bersungut-sungut.
Istriku hanya diam saja. Dan setelah itu ia jadi lebih pendiam. Ketika pulang kantor wajahnya begitu kuyu. Kadang-kadang ia begitu ketakutan. Dan suatu malam aku menemukannya menangis terisak-isak.
“Ada apa?” tanyaku lembut sambil mengusap-usap bahunya.
Ia baru 30 tahun, seharusnya sedang menikmati hidup. Kenapa matanya terus-menerus memerah dan rambutnya kusut masai tak tersisir.
“Kurasa orang-orang di kantor membicarakanku.”
“Itu kan kata kamu.”
“Tapi benar, aku bisa merasakannya dari tatapan mereka.”
“Itu hanya perasaan kamu saja. Ssstt, tidak ada apa-apa. Kamu kan sudah lama bekerja di sana dan mereka teman-temanmu semua. Tidak ada yang sedang membicarakanmu,” kataku berusaha menenangkan hatinya.
Ia hanya terdiam sambil menggigit-gigit bibirnya.
Persoalan rupanya tak selesai. Dua minggu kemudian, istriku pulang membawa berita bahwa ia sudah mengajukan pengunduran diri dari kantornya.
“Aku sudah tidak tahan,” ia beralasan.
Setelah itu ia sedikit bergembira. Aku rasa aku bisa tenang. Ketenangan istriku adalah pertanda baik. Namun tiba-tiba ia sering membenturkan kepalanya ke tembok. Sampai akhirnya kucing itu datang dan istriku berkata ia kembali mengandung.
***
Istriku bilang kucing itu adalah malaikat penjaganya. Malaikat penjaga? Apa-apaan itu? Sebagai seseorang yang dibesarkan di lingkungan pesantren, aku hapal nama-nama malaikat. Ada Raqib dan Atid, yang mencatat amal baik dan buruk. Kedua malaikat itu tentu saja akan mengikuti kita ke mana pun kita pergi. Tapi tentu saja aku tidak bisa membayangkan malaikat penjaga itu berupa seekor kucing? Hei, ke mana perginya pengetahuan agama yang sudah kutanamkan pada dia.
“Jangan biarkan kucing itu masuk,” aku mengultimatum.
“Tapi kasihan kan dia lapar,” jawab istriku merengek.
“Beri makan di luar saja, tapi jangan kasih masuk. Lagipula apa-apaan kamu, tahu-tahu kok memelihara kucing. Bukannya kamu dulu sangat membenci kucing? Kamu bilang mereka bau.”
“Tapi aku mendapat mimpi,” kata istriku serius. “Waktu itu aku sedang tidur nyenyak sekali. Kamu tahu kan sore itu aku habis pergi ke perkumpulan.”
“Ya, ya,” sahutku tak sabar.
“Lalu tiba-tiba saja aku melihat kalau kucing itu adalah malaikat pelindungku. Apa kau tak merasa aneh. Kucing itu tiga warna. Jantan lagi. Itu jenis yang langka. Tiba-tiba saja ada kucing masuk ke rumah kita, minta makan pula. Di desa ini tak banyak kucing semacam itu,” katanya dengan sabar, lalu berhenti tiba-tiba, seolah-olah kehabisan nafas.
“Pak Tukiyo kucingnya hanya belang dua, itu pun suka mencuri. Mbok Rahayu kucingnya hitam polos, kata orang bawa sial. Apalagi kucing si Pakde Ratman yang kuning dan hamil melulu itu. Kemarin malah kucing warna putih Pak Joko mencakar muka si Dono sampai berdarah, sampai-sampai anak itu harus ke puskesmas untuk disuntik tetanus,” ia berargumen.
“Tapi kalau malam kau keluarkanlah kucing itu. Aku tak suka mendengar suara kucing mengeong di dalam rumah, bikin susah tidur,” kataku memutuskan.
Istriku tersenyum sambil mengusap-usap tanganku. Tampaknya ia cukup puas dengan jalan keluar yang kutawarkan. Maka sore sesudahnya, selalu begitu aku pulang dari kantor, kucing itu bergegas pergi. Ia seolah-olah tahu kehadirannya tak diharapkan olehku. Begitu aku memasuki rumah, ekornya akan terangkat dan matanya yang berwarna kuning cerah memandangi aku sebelum berbalik dan berlari ke luar pekarangan. Sungguh aneh. Bahkan ketika aku libur dan seharian berada di rumah, kucing itu tak menampakkan batang hidungnya sedikit pun.
“Ia tahu ada kau yang menjagaku, jadi ia tak datang,” kata istriku.
Aku hampir saja percaya. Apalagi istriku sudah lama tak membentur-benturkan kepalanya di tembok lagi.
Tapi tiba-tiba keanehan terjadi lagi.
Sepulang dari dokter malam itu, kami menjadi masygul, lunglai. Anak dalam kandungan istriku, yang sekian lama kami harap-harapkan, rupanya tak tumbuh sesuai harapan. Dokter bilang kehamilan ini percuma diteruskan.
“Janin ibu tak berkembang,” ucap dokter bermuka lempang itu.
Kami mengharapkan datangnya keajaiban, meski pesimistis. Istriku terlampau sedih hingga tak mampu berkata-kata. Hanya di ujung matanya tampak ada bulir air mata yang hendak jatuh. Susah payah kami mencoba tidur malam itu, setelah mendengar vonis dokter yang menyesakkan. Malam itu tanpa kusadari si kucing datang menyelinap. Ia tidur di samping perut istriku.
***
Seminggu sudah berlalu sejak tindakan kuret dilakukan. Ini kuret keduanya. Kurasa istriku agak terguncang. Selama itu pula, kucing itu tak pernah sekali pun tak datang. Aku membiarkannya. Lama-lama mungkin aku mempercayai ucapan istriku. Barangkali benar kucing itu titisan atau jelmaan dari malaikat pelindung atau sejenisnya. Tapi rupanya aku terlalu cepat merasa tenang. Kejadian sore tadi membalikkan semuanya. Padahal, segalanya tentu akan baik-baik saja kalau saja insiden itu tidak terjadi.
Kucing itu mati tertabrak sepeda motor yang dikendarai anak Pakde Ratman. Anak itu memang sudah lama merengek meminta dibelikan motor, tapi orang tuanya tak kunjung mengabulkan. Selain tak punya cukup uang, orang tuanya takut anak itu akan makin liar dan tak terkontrol dengan sepeda motornya. Anak remaja memiliki darah muda yang haus pengalaman, sayang mereka seringkali kurang akal. Pakde Ratman sendiri yang mengantarkan bangkai kucing itu ke rumah, sambil meminta maaf. Dan aku yang menguburkan kucing itu di halaman belakang.
Istriku tak ikut menguburkan, ia terdiam di dapur. Ia terlampau banyak menangis. Aku membayangkan duka yang diterimanya, banyak dan bertubi-tubi.
Ketika kembali, aku menemukannya duduk bersimpuh di sudut dapur. Ia tampak menekuk kakinya dengan kepalanya terbenam di antaranya. Sebuah pisau dapur teronggok di dekat telapak kakinya. Aku menyingkirkan pisau itu.
“Besok kita ke inabah ya, kita ketemu mbah yai,” ucapku sambil berbisik dan menciumi rambutnya.
Ia tak menjawab.
“Mbah yai punya salawat yang bagus, lho. Dulu pernah ada orang buta tiba-tiba bisa melihat karena didoakan dia.”
Tangis istriku makin kencang.
“Lagipula di pesantren juga enak. Kamu pasti betah, deh. Di kampung kan udaranya sejuk.”
Istriku mengangkat wajahnya. Tiba-tiba kulihat matanya berwarna kuning, persis seperti mata si kucing yang baru saja aku kuburkan.
***