Liputan6.com, Baltimore - Karena beberapa alasan, seorang pria dapat saja kehilangan penisnya atau memang dilahirkan dengan kekurangan. Di kalangan tentara AS yang berdinas di pertempuran, sejumlah anggotanya terpaksa kehilangan penis karena tertembak, terkena ledakan, ataupun alasan sejenis yang berkait dengan kedinasan saat itu.
Diutip dari Popular Science pada Selasa (15/3/2016), para dokter di John Hopkins Medicine telah melakukan mempersiapkan diri untuk transplantasi penis pertama di AS, serupa dengan bedah sejenis di Tiongkok pada pasien kecelakaan dan di Afrika Selatan pada pasien yang mengalami kegagalan sunat.
Baca Juga
Advertisement
Bagi beberapa pihak, transplantasi penis seperti bukan sesuatu yang mendesak. Pasien memerlukan transplantasi jantung, hati, atau ginjal supaya tetap bisa hidup. Seseorang bisa terus hidup walaupun tanpa memiliki penis.
Terlepas dari perselisihan itu, berikut ini adalah penjelasan singkat aspek medis dan psikologis transplantasi penis pada sekitar 60 anggota militer AS yang menjadi calon penerima transplantasi penis.
Bagaimana caranya?
Bagaimana caranya transplantasi penis?
Pertama-tama, supaya layak menjalani transplantasi, seorang penerima transplantasi harus memiliki tulang panggul yang utuh.
Kata Arthur Burnett, seorang ahli urologi dan direktur kedokteran seksual di John Hopkins Medicine, ini dimisalkan sebagai “pondasi sebuah rumah.”
Setelah donor didapatkan, para dokter hanya punya beberapa jam untuk memindahkan penis dan sejumlah otot pelvik yang ukurannya cocok dengan luasan pelvik penerima dan segera membawanya ke ruang bedah.
Burnett dan lebih dari 20 tenaga kedokteran telah mempersiapkan penerima, membuka kulit, guratan, dan otot serta memaparkan puluhan pembuluh darah, syaraf dan saluran kencing tempat mengalirnya air seni dan cairan mani.
Sebagaimana halnya dengan transplantasi organ lainnya, dokter bedah harus menjahitkan semua itu ke jaringan sang donor, tapi transplantasi penis lebih rumit secara teknis karena hubungan-hubungannya banyak dan mungil. Pembedahan ini, menurut seorang ahli bedah John Hopkins, bisa berlangsung hingga 12 jam.
Setiap transplantasi penis yang akan dilakukan bersifat unik, tergantung dari cedera dan anatomi pasien. Para ahli bedah harus membuang jumlah tepat jaringan dari perut sang donor untuk mengisi bagian yang sudah hilang dari penerimanya. Namun demikian, testikel tidak dapat disambung ulang atau dibuat lagi.
Jika penerima donor telah kehilangan testikel, ia mungkin akan memerlukan terapi penggantian hormon (hormone replacement therapy, HRT), untuk menggantikan hormone testosteron yang biasanya mereka hasilkan.
Bukan hanya itu, tubuh sang penerima mungkin menolak transplantasinya. Untuk memperkecil risiko itu, ia akan menerima suntikan sumsum tulang belakang dari sang donor dan perlu minum penekan kekebalan (immunosuppressant) seumur hidupnya.
Walaupun begitu, tidak ada jaminan penis tersebut akan berfungsi sepenuhnya, terutama terkait dengan fungsi seksual. Kata Burnett, “Kami berharap dapat memulihkan hal-hal sedemikian rupa sehingga para pria ini memperolah ereksi sesungguhnya.”
Menurut Burnett, “Tapi kami bisa saja mendapati bahwa kami menempelkan semuanya dan mereka masih belum bisa mendapatkan ereksi yang bermutu. Hal itu memerlukan sejumlah bantuan, misalnya Viagra, atau ada sejumlah pria yang harus kembali untuk mendapatkan prostetik pada penis.”
Prostetik penis adalah alat sintetis yang bisa digembungkan dan ditanamkan melalui pembedahan ke dalam ruang-ruang penis. Burnett telah memasang 80 implan setiap tahun pada kaum pria yang menderita gangguan ereksi.
Advertisement
Bagaimana dampak emosionalnya?
Bagaimana dengan dampak emosional?
Selain tantangan dalam hal kedokteran, dampak psikologis transplantasi penis juga bisa menyulitkan. Kata Burnett, “Kami harus memastikan bahwa para pasien itu siap melangkah maju, bawah mereka telah dibimbing dengan baik, dan pasien itu siap tubuhnya dibangun ulang.”
Lanjutnya, “Transplantasi ini adalah perubahan yang mungkin berat diterima oleh seorang pasien ataupun pasangannya. Mereka nantinya terbayang melakukan hubungan seks menggunakan penis milik pria lain.”
Untuk menanggulangi hal ini, pasien akan memerlukan dan juga wajib melakukan bimbingan psikologi sebelum dan sesudah pembedahan.
Walaupun dunia medis sepertinya ragu menganjurkan bedah ini, masyarakat luas cenderung mengerti adanya kebutuhan, demikian temuan Burnett.
Pria-pria ini ingin menjadi ayah, mesra dengan pasangannya. Pembedahan ini bisa memungkinkannya. Selain daripada itu, keinginan untuk transplantasi ini merupakan pernyataan betapa manusia ingin merasa normal lagi.
Burnett tidak mengetahui apakah donor untuk transplantasi pertamanya tersedia dalam beberapa hari atau beberapa bulan, namun tim bedahnya sudah siap—mereka telah berlatih pada jenazah, kata Burnett, dan melakukan uji coba serta perulangan. Katanya, “Bisa sangat berhasil.”
Ia berharap suatu hari nanti pihak-pihak lain dalam bidang kedokteran menyadari pentingnya bedah ini dan para penerima yang telah mendaftar segera mendapatkan transplan mereka.
“Semoga kita melangkah maju. Saya berharap bahwa, dengan komunikasi ini, bahkan para profesional bidang kedokteranpun menerima hal ini sebagai sesuatu yang berarti bagi para pasien.”