Isu Vaksin Babi, 15 Tahun Daerah Ini Tolak Imunisasi

Petugas kadang kejar-kejaran dengan warga untuk memberikan imunisasi.

oleh Panji Prayitno diperbarui 15 Mar 2016, 11:15 WIB
Pekan Imunisasi Nasional (PIN) 2016 tanggal 8 – 15 Maret 2016 menargetkan bayi usia 0-59 bulan memiliki kekebalan tinggi terhadap Polio.

Liputan6.com, Bandung - Pelaksanaan program imunisasi tak selamanya mulus. Ada penolakan di sejumlah daerah karena masyarakat curiga ada kandungan babi dalam vaksin untuk imunisasi. Akibatnya, vaksinasi dianggap haram oleh sebagian muslim.

Salah satu yang menolak imunisasi adalah warga Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Penolakan mereka terhadap program Pekan Imunisasi Nasional (PIN) rupanya sudah lama terjadi.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Cirebon Edi Sugiarto mengatakan dalam kurun waktu hampir 15 tahun, Dinkes Kota Cirebon kesulitan memberikan vaksin kepada warga di selatan Kota Cirebon itu.

"Kurang lebih 15 tahun, sudah sampai 6 kali ganti kepala dinas di Argasunya masih kesulitan untuk penyaluran imunisasi," kata Edi Sugiarto di Cirebon, Senin, 14 Maret 2016.

Pada program PIN tahun ini, kata dia, di hari kedua Dinkes melalui Puskesmas Sitopeng hanya berhasil memberikan imunisasi kepada sembilan balita dari 139 yang harus diimunisasi. Petugas juga sering kejar-kejaran dengan warga.

Dia menegaskan bahan yang terkandung dalam vaksin polio bukan minyak babi. Bahan pembuat vaksin polio merupakan rekayasa genetik dari ragi dan sudah melewati berbagai tahap purifikasi.

"Vaksin itu dibuat di negara kita sendiri dan yang membuatnya juga muslim, jadi tidak ada minyak babi. Selain itu, vaksin polio yang diproduksi Bio Farma itu sudah diekspor ke 145 negara. Dan menguasai 60 persen vaksin di dunia, ya dari pabrik Bio Farma Bandung," Edi menjelaskan.

Edi sudah berupaya melakukan pendekatan kepada ulama setempat dan mengajak untuk melihat langsung proses pembuatan vaksin polio. Namun, upaya tersebut sepertinya kurang berhasil. Ini lantaran tokoh masyarakat setempat sudah lanjut usia, sehingga cukup berisiko.

"Kyainya juga sudah bicara ke saya kalau soal vaksin urusan warga. Jadi, kami ambil langkah tegas saja yang penting anak-anak Kota Cirebon terproteksi dari penyakit 15 tahun ke depannya," kata Edi.

Saat ini petugas imunisasi gencar memberikan vaksin dengan melakukan door to door ke rumah warga. Petugas juga tidak diwajibkan memakai pakaian resmi atau bernuansa medis.

"Mau tidak mau kita door to door. Kita paksa anak-anaknya untuk divaksin. Supaya tidak mencirikan petugas medis, mereka berpakaian kalau ketemu warga mereka merangsek masuk. Tapi maaf ada juga beberapa yang mengunci pintu rumah," kata Edi.

Edi mengaku waswas dan khawatir dengan kondisi kesehatan serta kekebalan tubuh anak-anak khususnya di wilayah Argasunya. Ini, ucap Edi, terbukti dengan maraknya penyakit difteri yang berada di Kabupaten Cirebon.

"Risiko tidak diberi imunisasi itu akan mudah terkena polio, difteri, tetanus, campak, tbc, pertusis, hepatitis B. Nah, di Kota Cirebon baru terdeteksi satu orang yang terkena difteri karena tidak diimunisasi 15 tahun lalu," kata Edi. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya