Liputan6.com, Jakarta - DPR dan pemerintah berencana merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). DPR kini masih menunggu draf revisi UU Pilkada dari pemerintah.
Sebelum UU Pilkada direvisi, Presiden Jokowi meminta agar dilakukan pemetaan masalah secara tajam terlebih dahulu. Hal itu untuk memprediksi permasalahan yang mungkin timbul berdasarkan pengalaman pelaksanaan Pilkada serentak sebelumnya, sehingga regulasi yang dihasilkan bersifat jangka panjang.
"Saya minta adanya pemetaan masalah dan saya minta diperhatikan betul revisi undang-undang Pilkada tidak terjebak pada perangkap-perangkap kepentingan politik jangka pendek, tetapi undang-undang ini harus menjamin proses demokrasi di daerah dan agar bisa berjalan dengan demokratis, jujur dan adil," kata Jokowi dalam keterangan tertulisnya, Rabu (16/3/2016).
Jokowi juga meminta agar rumusan pasal-pasal dalam revisi UU Pilkada lebih jelas, "Tidak menimbulkan multi tafsir dalam kita menjalankannya."
Baca Juga
Advertisement
Pemerintah dan DPR berencana merevisi Undang-Undang Pilkada. Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman menegaskan, nantinya, siapa saja boleh maju sebagai calon gubernur baik itu PNS, TNI, atau Polri.
Komisi II juga hendak menaikkan kembali syarat dukungan bagi calon independen. Rencananya syarat dukungan akan dinaikkan menjadi 10-15 persen dari semula hanya 6,5-10 persen.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan, 15 poin yang nantinya akan dibahas dengan DPR. UU ini ditargetkan rampung sebelum tahun 2017. Sebab rencananya, hasil revisi UU ini akan digunakan pada pilkada serentak 2017.
"Ada 15 poin yang akan dibahas dengan DPR. KPU minta paling lambat Agustus sudah selesai, supaya pilkada serentak bisa dilakukan pada Februari 2017 di 107 daerah," ungkap Tjahjo pada 22 Februari 2016.
Menurut dia, rencana revisi UU Pilkada sudah menyerap masukan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), lembaga prodemokrasi, serta kalangan pengamat. Mereka telah menginventarisir masalah pilkada serentak tahun 2015.