Liputan6.com, Jakarta - Indonesia sebagai produsen minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) terbesar harus memiliki pemikiran maju. Indonesia harus bisa mengidentifikasi cara baru atau unik untuk memecahkan tantangan ke depan dalam pengembangan produk berkelanjutan, di antaranya bio diesel.
Langkah ini dilakukan guna mendukung komitmen dunia terhadap lingkungan. "Saya ingin menegaskan negara-negara maju juga harus membantu negara-negara berkembang untuk mendukung upaya ini," tegas Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu (16/3/2016).
Darmin menuturkan, dalam jangka panjang, negara dengan produk yang kompetitif akan lebih berhasil mengurangi kemiskinan, serta menempatkan sumber daya tambahan untuk melindungi rakyatnya, lingkungan, dan kepentingan ekonomi dibandingkan dengan negara-negara tanpa produk kompetitif.
Baca Juga
Advertisement
Karena itu, Ia menyarankan, setiap negara harus mencari tahu produk yang kompetitif dan terus mengembangkannya.
Mantan Gubernur Bank Indonesia itu juga menegaskan, negara-negara maju harus menyediakan dana ketimbang hanya bicara. Istilah ini disebut Darmin "kesediaan untuk membayar".
Ia meminta agar Indonesia dapat mengubah pola pikir pengembangan produk berkelanjutan, bukan hanya tanggung jawab produsen, tetapi juga konsumen.
"Kami berharap mitra kami dapat bekerja sama membantu membiayai praktik sustainablity dengan membayar secara premium produk yang berkelanjutan. Boikot produk seperti yang terjadi dalam kasus Iran, Korea Utara tidak akan menjadi win-win solution. Saya percaya pada dialog," ujar dia.
Conference on Parties (COP) 21 Paris telah sepakat membatasi peningkatan temperatur global di bawah ambang 2 derajat Celsius, bahkan ada yang mendesak untuk membatasi kenaikan hingga 1,5 derajat Celcius.
Karena itu penting menegaskan kembali kewajiban yang mengikat negara-negara maju di bawah UNFCCC untuk mendukung upaya negara-negara berkembang.
Melawan segala rintangan, Indonesia telah berhasil meluncurkan inisiatif Biodiesel B-20 pada 2015. Inisiatif ini merupakan dorongan utama untuk energi campuran kita karena sebelumnya Indonesia sangat tergantung pada bahan bakar fosil. Sebagai negara pengimpor, Indonesia membutuhkan sumber energi yang lebih berkelanjutan.
Ada permintaan tambahan untuk CPO telah mampu mendongkrak harga CPO menjadi US$ 565 per ton dari sebelumnya US$ 535 per ton ketika pemerintah mulai mengumpulkan retribusi untuk program bio diesel.
Melindungi Petani
Melindungi Petani
Darmin mengaku, penggunaan campuran minyak sawit dengan solar bukan saja mengerek permintaan tambahan untuk CPO, tapi melindungi petani kecil dari potensi krisis karena penurunan harga tandan buah segar.
CPO merupakan salah satu sektor yang kompetitif dan itu adalah alat yang efektif untuk pengentasan kemiskinan. Satu hektare (ha) perkebunan CPO, misalnya, dapat menghasilkan rata-rata 3,8 ton minyak.
Pada harga saat ini, diperkirakan dapat menghasilkan US$ 2.150 per ha. Bandingkan dengan perkebunan karet dengan tingkat produktivitas 1 ton per ha yang hanya menghasilkan US$ 1.500 per ton.
Perkebunan sawit rata-rata membutuhkan 0,12 pekerja per ha. Ini memainkan peran sangat besar untuk pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja untuk Indonesia.
Perkebunan sawit mampu menyerap lebih dari 4 juta tenaga kerja langsung dan lebih dari 10 juta tenaga kerja tidak langsung, serta berkontribusi besar terhadap ekspor non-migas Indonesia.
Praktik Sustainable Palm Oil juga memainkan peran penting untuk mengurangi emisi karbon hingga 29 persen pada 2030 dan 41 persen dengan dukungan internasional. Pemerintah berencana fokus pada penanaman kembali CPO di lahan kritis dan daerah produktivitas rendah untuk meningkatkan hasil.
Dengan mempromosikan B20 pada 2016, yang secara bertahap akan meningkat menjadi 30 persen pada 2025, Darmin optimistis kebijakan ini akan meningkatkan penggunaan energi yang lebih berkelanjutan.
Pemerintah sedang dalam proses non-mandatory (Non-PSO) untuk melakukan 20 persen pencampuran yang akan meningkatkan permintaan tambahan untuk CPO.
"Kami memperkenalkan kebijakan ini selama lingkungan bahan bakar fosil menurun sehingga beban bagi konsumen akan relatif minimal. Untuk menambal perbedaan harga, kami berpikir untuk mengambilnya dari marjin produsen minyak, bukan membebankan kepada konsumen,” kata Darmin.
Dalam catatannya, pada 2015, perkebunan CPO Indonesia sudah mencapai 11 juta ha, dengan total produksi mencapai 32 juta ton. Sebanyak 45 persen dari lahan ini milik petani, sisanya dikuasai oleh korporasi dan badan usaha milik negara (BUMN).
Perkebunan swasta dan BUMN memainkan peran penting bagi petani kecil. Perusahaan besar memiliki akses ke pasar dan kemampuan untuk bernegosiasi di pasar internasional. Dengan demikian, perkebunan swasta dan BUMN tidak bisa menutup mata terhadap petani kecil.
Menurut Darmin, perusahaan yang lebih kuat harus bisa mencari solusi jangka panjang untuk meningkatkan praktik keberlanjutan petani, bekerja sama dengan pemerintah untuk mempromosikan praktik perkebunan yang baik dan berkelanjutan.
"Karena itu kami ingin memprioritaskan pada masalah pada pencegahan bencana untuk tahun ini. Banyak fokus dan bantuan yang ditawarkan pada isu-isu yang berdampak jangka menengah dan panjang. Namun dalam jangka pendek perlu memprioritaskan pencegahan segera untuk mencegah berulangnya kebakaran hutan," tegas Darmin. (Fik/Ahm)
Advertisement