Liputan6.com, Jakarta - Langkah Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang meminta pemerintah untuk segera mengambil keputusan tentang Plan of Development (POD) dalam penentuan pembangunan fasilitas pengolahan gas di Blok Masela, Maluku dinilai merupakan tindakan yang menekan pemerintah. Oleh sebab itu, SKK Migas pantas untuk diperingatkan.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, kepastian pembangunan blok gas alam abadi tersebut masih dalam tahap evaluasi dan kajian yang intensif. Pemerintah sedang memilih apakah pembangunan kilang gas alam cair (Liquid Natural Gas/ LNG) akan di lakukan di darat (onshore) atau di laut (offshore, FLNG).
Namun dengan keluarnya pernyataan dari SKK Migas bahwa akibat belum adanya keputusan tersebut membuat kontraktor Blok Masela melakukan lay off, maka SKK Migas diangkap memberikan tekanan kepada pemerintah.
"IRESS meminta agar Pemerintahan Jokowi-JK segera menertibkan dan memberi peringatan kepada Kepala SKK Migas yang telah menekan pemerintah," kata Marwan, di Jakarta, Kamis (18/3/2016).
Baca Juga
Advertisement
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi telah mengungkapkan tentang potensi terjadinya pengurangan personil dan karyawan oleh Inpex, reposisi karyawan oleh Shell, serta tertundanya investasi selama 2 tahun, jika POD Blok Masela tidak segera disetujui Presiden Jokowi.
Oleh sebab itu, SKK Migas meminta Presiden Jokowi untuk segera menyetujui revisi POD skema offshore/FLNG yang direkomendasikan oleh SKK Migas beserta Inpex dan Shell senilai US$ 14 miliar.
Menurut Marwan, SKK Migas telah bertindak lebih menyuarakan kepentingan kontrator Blok Masela, Inpex dan Shell, dibanding kepentingan negara dan rakyat yang seharusnya dilindungi dan diperjuangkan oleh SKK Migas. Padahal, SSK Migas sangat paham keputusan pembangunan skema offshore atau onshore Blok Masela masih belum diputuskan Presiden Jokowi.
"Apalagi, dengan adanya perbedaan pendapat yang tajam tentang skema antara KESDM dengan KK Maritim, maka proses pengambilan keputusan mestinya dilakukan tertutup oleh Presiden dan anggota kabinetnya, tanpa boleh diintervensi oleh pejabat/lembaga negara lain di luar anggota kabinet tersebut," tutur Marwan.
Dari tindakan SKK Migas tersebut, tertangkap kesan bahwa SKK Migas telah bertindak di luar kelaziman, memaksakan kehendak, dan melanggar tugas pokok dan fungsinya sebagai lembaga yang mewakili pemerintah dalam pelaksanaan aspek-aspek kontraktual dan pengawasan kontrak-kontrak migas.
IRESS pun meminta pemerintah untuk bekerja independen serta tetap menjaga harkat dan martabat bangsa Indonesia dalam pengembilan keputusan pengembangan Blok Masela.
"Presiden Jokowi harus membebaskan proses pengambilan keputusan dari berbagai intervensi dan tekanan yang datang dari berbagai pihak di luar pemerintahan," jelas Marwan.
Untuk diketahui, pada Rabu, 16 Maret 2016 malam SKK Migas mengeluarkan pernyataan bahwa lembaga tersebut mendapat informasi dari INPEX Indonesia, bahwa karena belum ada keputusan terhadap persetujuan Revisi POD Blok Masela yang sudah diajukan oleh Inpex Indonesia sejak awal September tahun lalu, maka Inpex Indonesia telah memutuskan untuk melakukan pengurangan personil di Indonesia.
Downsizing tersebut direncanakan hingga menjadi 40 persen dari total personil yang ada. SKK Migas mengkhawatirkan bahwa hal ini akan dapat menimbulkan lay off.
Sejalan dengan hal itu, SKK Migas juga menerima informasi dari Shell Indonesia bahwa CEO Shell telah meminta para engineer Shell di Belanda, Kuala Lumpur dan Jakarta yang semula bekerja untuk proyek Masela segera mulai mencari pekerjaan baru di internal Shell global.
Inpex Indonesia sebenarnya masih sangat mengharapkan keputusan persetujuan revisi POD Blok Masela dapat segera diberikan. Akan tetapi, Inpex Indonesia juga menyatakan bahwa seandainya keputusan tersebut diberikan saat ini dan yang diputuskan tersebut adalah pilihan yang sesuai dengan rekomendasi SKK Migas yaitu Offshore (FLNG), maka jadwal FID (Final Investment Decision) proyek Masela yang bernilai investasi lebih dari US$ 14 miliar akan mundur kurang lebih 2 tahun yaitu ke akhir tahun 2020. (Pew/Gdn)