Liputan6.com, Jakarta Jumat, 17 Mei 1912, Kota Batavia gempar. Satu sosok mayat perempuan cantik ditemukan mengapung di dalam karung beras. Ia tersangkut di pintu air. Kedua tangannya terikat. Menggenaskan betul. Melihat keadaannya, tidak diragukan lagi bahwa perempuan itu adalah korban pembunuhan.
Ia adalah Fientje de Fenicks, seorang pelacur kelas atas yang amat tersohor di Batavia. Usianya baru 19 tahun. Fientje tercatat sebagai anggota dari rumah pelesiran yang dikelola mantan pelacur kelas atas bernama Jeanne Oort. Ia mati kehabisan napas karena dicekik.
Fientje adalah indo alias blasteran dari Eropa dan pribumi. Matanya bulat dan hidungnya mancung. Bibirnya sensual dan rambutnya hitam panjang. Menilik kecantikannya, banyak pelanggannya yang berasal dari kaum berpunya.
Baca Juga
Advertisement
"Kehebohan segera menjalar di kalangan peduduk Betawi," tulis Tan Boen Kim dalam buku Fientje de Feniks menggambarkan situasi saat itu. Ini merupakan kali pertama terjadi peristiwa dengan bumbu-bumbu kekerasan dan seks di zaman Hindia Belanda.
Polisi Batavia segera bergerak cepat. Mereka ingin menciptakan kota yang aman bagi setiap kalangan. Komisaris Reumpol pun segera menyelidiki siapa pelaku pembunuhan gadis malang itu. Sebuah kesaksian menunjukkan bahwa seorang pria Belanda bernama Willem Frederick Gemser Brinkman adalah orang yang terakhir kali bersama nona cantik itu.
Gemser Brinkman bukan orang sembarangan. Ia termasuk warga kelas sosial tinggi yang biasa hadir dalam pesta-pesta di Concordia. Pada masa itu, Concordia alias Rumah Bola merupakan tempat bagi warga elite Batavia bersosialisasi sambil menikmati makan ala Hindia Belanda, rijtstafel, yang mewah dan melimpah.
Gemser Brinkman dengan sigap menangkal tuduhan yang dilayangkan kepadanya. Ia segera dibawa ke Raad van Justitie (pengadilan) untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pada masa itu, seorang Belanda tulen diadili lantaran membunuh seorang indo tentu sangat luar biasa. Mungkin bagi Gemser Brinkman yang totok, nyawa seorang indo tidak ada harganya. Namun, jaksa bersikap lain.
Sejarah mencatat pengadilan terhadap Gemser Brinkman sangat gaduh. Apalagi ia juga dibela pengacara terkenal, Mr Hoorweg. Raad van Justitie mendokumentasikan jalannya pengadilan dengan sangat cermat. Berkat data yang begitu berlimpah, tak heran kasus ini menjadi salah satu kejadian yang diceritakan ulang oleh para pengarang keturunan Tionghoa.
Selain Tan Boem Kim yang menulis Fientje de Feniks atawa djadi korban dari tjemboeroean pada 1915, di tahun yang sama, 1915, Drekkerij Tjiong Koen Bie merilis buku 146 halaman dengan judul Nona Fientje de Feniks. Pada 1916 terbit lagi buku setebal 87 halaman bertajuk Sair Nona Fientje de Feniks dan Sakalian Ia Poenja Korban jang Bener Terjadi di Betawi antara taon 1912-1915. Semuanya rata-rata menuliskan “soewatoe kejadian yang betoel terjadi di tanah Betawi.”
Apa sebab Gemser Brinkman membunuh Fientje de Feniks? Konon lantaran cemburu. Gemser Brinkman rupanya ingin menjadikan Fientje de Feniks sebagai gundiknya. Namun, Fientje menolak dan lebih memilih terus menjalani pekerjaannya sebagai “kupu-kupu malam”. Penolakan gadis ini rupanya membuat Gemser Brinkman gelap mata. Ia lalu mengutus Pak Silun dan dua anak buahnya untuk menghabisi nyawa Fientje de Feniks. Karena itu, Pak Silun juga ikut tertangkap. Ia sangat menyesal, apalagi bayaran yang diterimanya baru persekot.
Keterangan Raonah, seorang pelacur pribumi, turut menguatkan keterlibatan Gemser Brinkman. Raonah mengaku pernah melihat Gemser Brinkman dan Fientje bertengkar. Versi lainnya, Raonah menyatakan bahwa ia melihat Gemser Brinkman mencekik Fientje de Feniks di sela-sela bilik bambu.
Akhirnya setelah proses pengadilan yang panjang, Gemser Brinkman masuk hotel prodeo. Awalnya Brinkman sempat sesumbar bahwa rekan-rekannya di Societeit Corcondia bakal membelanya habis-habisan. Namun, anggapannya keliru. Brinkman tetap dihukum. Namun lantaran stres berat, ia mati bunuh diri di selnya sebelum eksekusi dilakukan.
Selain muncul dalam Kesusteraan Melayu Tionghoa, kisah Fientje de Feniks pelacur papan atas tersebut juga diulas Peter van Zonneveld dalam 75 halaman buku De moord op Fientje de Feniks: een Indische Tragedie.
Rosihan Anwar dalam Petite Histoire Indonesia Jilid 1 juga mengulas sedikit banyak kisah Fientje. Namun, keduanya menyebutkan Fientje penghuni rumah pelacuran dari germo bernama Umar.
Meski demikian, cerita yang paling terkenal dan menginspirasi para penulis lain adalah cerita karangan Tan Bon Kiem. Pramoedya Ananta Toer mengadaptasi cerita ini ke dalam alur novel Rumah Kaca (1988). Nama Fientje de Feniks diubahnya menjadi Rientje de Roo, seorang pelacur yang memiliki pelanggan bernama Jacques Pangemanan. Dalam novel itu tidak diceritakan siapa dan bagaimana Rientje de Roo terbunuh. Namun secuil kisah ini turut membangun keseluruhan alur Rumah Kaca.
Selain Pram, rupanya ada satu penulis lagi yang terinspirasi dengan kisah kematian Fientje de Feniks. Dia adalah Peter van Zonneveld, seorang pria berkebangsaan Belanda. Ia menulis buku berjudul De Moord op Fientje de Fenicks (Pembunuhan Fientje de Fenicks) yang terbit tahun 1992.
Demikian Fientje de Feniks yang kematiannya telah menjadi legenda di antara banyak kisah-kisah lain soal Batavia.